Showing posts with label Berita. Show all posts
Showing posts with label Berita. Show all posts

Tuesday, December 20, 2016

Tony

Bisnis Singkong di Porsea

 
Singkong atau ubi kayu sempat mengalami booming dengan banyaknya masyarakat yang berinvestasi dalam hitungan luas yang tidak sedikit. Tak terkecuali di Sumatera Utara (Sumut) yang disebut menempati rangking kelima setelah Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Kini, petani singkong di Sumut meringis, karena tepung tapioka tak lagi laku di pasar ekspor. Petani pun buntung. Seperti yang dikatakan Ronistra Ginting, petani/pengusaha singkong bahwa saat ini petani singkong sedang letih, lemah, lesu dan letoy.

Pasalnya, sejak enam bulan yang lalu mengalami penurunan harga yang sangat drastis. Di mana harga ubi kayu sebelumnya berada di kisaran Rp 1.100 per kilogram (kg) menjadi Rp 650 per kg. parahnya lagi, harga ubi kayu turun lagi sejak dua minggu yang lalu dan menjadi Rp 600 per kg.

Menurutnya, penurunan harga ini terjadi karena berdasarkan informasi yang diterimanya di pabrik tepung tapioka bahwa saat ini tepung tak lagi laku sehingga tidak ada pengiriman ekspor.

Tiongkok, yang selama ini menjadi satu-satunya negara tujuan ekspor tepung tapioka dari Sumut sudah tidak lagi mengambil dari Indonesia. Mereka (Tiongkok), kata dia, sudah berinvestasi singkong di Vietnam.

"Mereka mungkin kerjasama untuk budidaya singkong. Investor Tiongkok memodalin petaninya. Imbasnya ke kita di sini. Ubi kita tak diminta lagi. Tak diterima lagi ubi kita," katanya kepada MedanBisnis, Jumat (2/12).

Dia mengaku, jika hanya mengandalkan dari singkong, dia sudah pasti kolaps. Dia menghitung, kalau dari harga pabrik Rp 600 per kg itu nanti akan dipotong biaya lain seperti potong tangkai 10% dan lain sebagainya, kemudian upah panen atau upah cabut Rp 100 - Rp 150 per kg.

Kemudian dihitung jarak, misalkan 50 km bisa 150 per kg. Apalagi kalau pabriknya di Porsea, Siantar, itu akan menelan ongkos 250 per kg. Dengan demikian, harga Rp 600 per kg sangat tidak menguntungkan bagi petani.
"Jadi misalkan tadi ongkos cabutnya 250 per kg, ongkos angkut 150 per kg, itu saja posisinya sudah Rp 400. Harga di pabrik Rp 600. Sisa Rp 200 untuk petani.

Kalau lahannya dekat dengan pabrik, bisa lah ongkosnya hanya Rp 50 - Rp 100 per kg. Tapi kan biasanya jarang sekali lahan ubi petani itu dekat dengan pabrikan. Kebanyakan lokasinya jauh jadi harus dilangsir ke pabrik dan itu juga butuh biaya," rinci Ronistra.

Lahan dia sendiri, tersebar di beberapa lokasi seperti di Tanah Karo, Porsea, Lumban Julu, Talun Kenas. Untuk ubi dari Talun Kenas hasil panennya dibawa ke Serdang Bedagai dan Tebingtinggi. Sedangkan dari daerah Porsea dibawa ke pabrik tepung tapioka yang berada di Siborong-borong.

Masalahnya menjadi sulit karena untuk pabrik yang berada di Siborong-borong, sudah tidak lagi menampung ubi dari luar lagi.

"Mereka hanya nampung ubi yang mereka tanam sendiri. Dari kebun singkong mereka. Terpaksa kita bawa ke Siantar. Susahnya lagi, kalau dua bulan lalu, pabrik tepung tapioka di Siantar masih lancar.

Sebulan terakhir, mereka sudah mengeluarkan kebijakan yang mana mereka hanya menerima ubi dua hari saja dalam seminggu. Padahal sebelumnya mereka buka setiap hari dan mau menerima ubi petani setiap harinya," katanya.

Belum lagi dengan masalah bahwa ubi tidak bisa disimpan dalam waktu yang lama. Apabila, umur ubi yang ditanam sudah cukup umur maka harus dipanen.

Namun untuk saat ini, singkong di lahannya yang berada di Sumbul, (2,5 hektare), Juhar (3,5 hektare), Talun Kenas (satu hektare), Siborong-borong sekitar (lima hektare) terpaksa belum dipanennya meskipun sudah berusia lebih dari satu tahun. Bahkan ada yang di dekat Siosar, lima hektare belum juga dipanen, padahal usianya sudah cukup tua.

"Jadi, kalau dipanen hasilnya akan melimpah. Mengingat, untuk ubi biasa saja bisa menghasilkan 30 - 40 ton per hektare. Sedangkan ubi yang ditanamnya bisa menghasilkan rata-rata 50 ton per hektare. Tapi, modal untuk bertanam dengan hasil jual panen saat ini tidaklah menguntungkan," jelas Ronistra.

Untuk ongkos produksi Ronistra mengatakan, penanaman dan perawatan membutuhkan kisaran antara Rp 12 juta - Rp 18 juta per hektare.

"Jadi kalau produksi hanya 10 ton, kita kalikan lah Rp 600 per kg kan cuma Rp 6 juta. Modalnya saja sudah Rp 12 juta, hasil panen Rp 6 juta. Kalau lah dipanen hasil yang diperoleh makin minus. Tetapi kenapa tak dipanen karena pabriknya tak lagi menampung," jelasnya.

Begitupun, kalau pabrik sudah mau menampung ubi, dia akan tetap memanen walaupun rugi. Karena kalaupun dibiarkan di lahan akan busuk juga. "Dapat Rp 200 per kg pun tak apalah. Daripada tak dapat apa-apa," katanya. (sumber)
Tony

Ketika Penambang Emas Tiongkok Berkompetisi dengan Lokal di Afrika

 
Afrika sedang berusaha membuka negara mereka ke investor dunia. Salah satunya dengan mengundang pengusaha-pengusaha Tiongkok.

Namun sering kali, masuknya investor Tiongkok diikuti dengan pengusaha-pengusaha hitam yang bekerja secara ilegal.

Negara-negara Afrika yang tidak siap dengan infrastruktur hukum mengalami kesulitan untuk mengatasi penambang ilegal.

Maksudnya mengundang investor dengan modal minimal, yang terjadi justru yang datanga dalah pengusaha menengah ke bawah yang menggerogoti bisnis kecil-kecilan.

Berikut ini ada dua video liputannya.


Wednesday, September 05, 2007

Tony

Renta Lumban Batu

 

Stres, Ibu Memaku Kepala Anak
Selasa 28 Agustus 2007, Jam: 10:20:00
JAKARTA (Pos Kota) – Stres tak punya duit ongkos pulang ke kampung halamannya di Sumut, seorang ibu tega memaku kepala anaknya. Bocah berusia 2 tahun itu kini terbaring lemah di RSCM. Peristiwa mengenaskan ini terjadi di Depok Dua Timur, Minggu petang.

Alexander Siagian, 2, dengan paku yang masih tertanam di batok kepala sedalam 3 cm kini dirawat di ruang IRNA B lantai 2 RSCM. Diakui sang ayah, Belsing Hasekial, 41, warga Jalan Sono Keling IV, Depok II Timur, sejak beberapa tahun terakhir istrinya Renta Lumban Batu, 28, memang mengalami gangguan jiwa. “Malahan sekitar setahun lalu, dia pernah membotaki rambutnya dengan alasan karena kepanasan,” kata Belsing.

Ditambahkannya hal tersebut dikerenakan sang istri meminta untuk pulang ke kampung halamannya di Ledong, Tanjung Balai, Sumatera Utara. Namun karena tidak mempunyai biaya keinginan tersebut belum terpenuhi. “Sudak lima tahun Renta tidak pulang kampung,” tutur Belsing, yang bekerja sebagai satpam di sebuah pusat perbelanjaan di Depok.

Menurut keterangan Imelda, bibi bocah malang tersebut, peristiwa itu terjadi pada Sabtu, (25/8) sore. Tiba-tiba terdengar suara teriakan Renta yang memaki sang anak. Mendengar hal tersebut, maka Imelda yang tinggal berseberangan dengan Renta langsung mendatanginya. Betapa terkejutnya, Imelda ketika mendapati kepala keponakannya telah tertanjap paku. Tidak hanya itu, setelah menanamkan paku ke kepala sang anak Renta juga menancapkan dua paku ke kepalanya sendiri.

Melihat kejadian tersebut Imelda langsung membawa Alexander ke RSIA Hermina, namun dirujuk ke RS Pasar Rebo sebelum akhirnya ibu dan anak tersebut mendapat perawatan di RSCM.

ANAK DURHAKA
Dasar anak durhaka, dinasehati orangtua malah membacok kepala ayah kandungnya sendiri. Peristiwa penganiayaan itu terjadi di RT 07/011 Kel. Angke, Kec. Tambora, Jakarta Barat, Minggu (26/8) malam.

Tersangka Ahmad, 20, anak biadab yang saat membacok bapaknya dalam keadaan teler, hingga Senin siang masih dalam pencarian petugas Polsek Tambora. Sementara ayahnya Surya Atmaja, 59, kini dirawat di RS Atmajaya Pluit, Jakarta Utara. Diperoleh keterangan, setiap malam Ahmad pulang dalam keadaan teler. Orangtuanya sudah sering menasehati anak muda tersebut tapi tak pernah diindahkan. Tapi karena kelakuannya tak pernah berubah, Minggu malam sekitar pkl 22:00 ketika pulang ke rumahnya langsung ditanya ibu bapaknya.

Malam itu, Surya mencoba menasehati putranya. Namun tanpa disangka-sangka, Ahmad yang sudah kerasukan setan mengambil golok lalu membacok kepala bapaknya hingga roboh. Setelah membacok, pemuda itu menjadi panik dan langsung kabur. Keluarga dibantu warga sekitar menolong membawa korban ke RS Atmajaya Pluit. Sedangkan tersangka yang dikenal tetangganya sebagai pemuda nakal di kawasan Rusun Angke, masih dicari polisi.

Friday, August 24, 2007

Tony

Jamaluddin Purba Dan Ranperda Tanjung Balai

 

Jumat, 24 Agustus 2007 03:00 WIB
Ranperda Gepeng Dinilai Rendahkan Islam
Tg. balai, WASPADA Online

Dinilai merendahkan Agama Islam, Pemuda Muslimin Indonesia Kota Tg. Balai menolak Rancangan Perda tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.

"Kita menolak Ranperda Gelandangan dan Pengemis, khususnya pada pasal 5. Sebab dalam pasal ada kata kontroversi yakni sedekah, yang identik dengan agama Islam. Jadi kata sedekah itu dapat merendahkan agama Islam," tegas Sekretaris PMI Kota Tg. Balai, Indra Mingka pada Public Hearing sosialisasi Ranperda Penanggulangan Gepeng di aula Rumah Dinas Walikota Tg. Balai, Kamis (23/8).

Apabila Ranperda itu tetap dipertahankan, lanjut Indra, sebaiknya kata sedekah direvisi dengan kata-kata lain seperti minta-minta atau sebagainya. "Tolong kata sedekah itu dihapus," tegas Indra. Tim sosialisasi Jamaluddin Purba menyambut baik usulan itu. "Kita akan menyampaikan usulan itu pada rapat paripurna tim perumus Ranperda, agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai religi, masyarakat dan tidak menyudutkan kelompok atau golongan tertentu," tukas Purba.

Menurut Purba, para gepeng yang disharing akan diberi pembinaan, sedangkan yang memberikan uang ataupun melakukan eksploitasi akan diberi hukuman. "Pembinaan dapat berupa tindakan preventif, responsif dan rehabilitasi," jelas Dekan Fakultas Fisipol UMSU itu.

Purba melanjutkan, gelandangan merupakan orang yang hidup tidak sesuai norma yang layak, yakni tidak bekerja selain meminta-minta belas kasihan orang lain. Dikatakan, untuk mendapatkan belas kasihan orang lain, para gepeng berupaya menimbulkan trik-trik tertentu seperti menunjukkan kelemahannya.

"Kalau pemerintah saja yang memikirkan masalah ini akan menimbulkan multi kompleks dan dikhawatirkan penanggulangan akan terlantar. Sebab itu masalah ini harus dipikirkan seluruh elemen masyarakat," ujar Purba. Kasi Rehabilitasi Sosial Dinsos Sumut, Hasyim menyatakan, Ranperda Penanggulangan Gepeng manfaatnya bukan sekarang, melainkan berupa antisipasi ke depan. "Sempatlah nanti semua turun di jalan, tentu sulit mengatasinya," demikian Hasyim.

Di Binjai
Pemerintah seharusnya serius menanggulangi gepeng sehingga mereka jera termasuk orang yang mengkordinirnya. Penanganan masalah gepeng juga tidak akan selesai jika menjatuhkan hukuman kepada orang yang ingin bersedekah. Demikian HM. Nuh seorang warga Binjai di aula Pemko Binjai Kamis (23/8) dalam sosialisasi draf Ranperda Prop. Sumut tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis.

Sementara Wakil Walikota Binjai Drs.H. Anhar A Monel, MAP saat membuka publik hearing draf Raperda Penanggulangan gelandang dan pengemis minta peserta memberi masukan. "Kalau selama ini hanya membaca koran adanya denda Rp6 juta kepada pemberi gepeng, sekarang bisa didiskusikan, sehingga draf Raperda ini secara serius menanggulangi gepeng di Sumatera Utara," terang Anhar. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia daerah (KPAID) Sumut Zahrin Piliang yang juga Sekretaris Tim Perumus Raperda Gepeng Dinas Sosial Sumut mengemukakan, jumlah gelandangan dan pengemis di Sumut kini mencapai 12.000 orang.

Terbanyak di Medan, menyusul Binjai dan daerah lain. Gelandangan dan pengemis tumbuh subur karena faktor mentalitas pelaku yang senang mendapatkan uang dengan mengemis tanpa mau bekerja. Sehingga pemerintah menemukan jalan buntu memberdayakannya. Mereka bisa berpenghasilan satu hari Rp50.000 yang jika diperhitungkan jauh di atas UMR. Di sisi lain persoalannya kian dilematis dari perspektif agama memberikan sedekah merupakan ibadah.

Kegiatan untuk daerah Kab.Langkat dan Binjai mendapat sambutan yang antusias terutama pasal yang membuat denda Rp6 juta dan pidana kurungan maksimal enam minggu bagi orang yang memberikan uang atau barang kepada gepeng di tempat umum. Kegiatan dihadiri 120 orang dari Kab. Langkat dan Binjai dihadiri Kasubdis Bina Rehabilitasi Sosial Dinsos Sumut Drs.H. Hatta Siregar, Kepala Kantor Sosial Binjai Drs.H.Sofyan Nasution. Kegiatan ini menurut Hatta Siregar akan dilakukan bergiliran di 25 daerah tingkat II se Sumut.
Tony

Korupsi 3 Milyar, Bupati Tobasa Didemo

 

Kamis, 23 Agustus 2007 03:00 WIB
Bupati Tobasa Kembali Didemo Soal Korupsi Rp3 Miliar
Balige, WASPADA Online

Ratusan massa yang tergabung dalam gerakan aliansi masyarakat bersama Pegawai Negeri Sipil (PNS) kembali melakukan aksi demonstrasi ke kantor Bupati, DPRD dan Kejari, Rabu (22/8) untuk menuntut penegakan hukum atas kasus dugaan korupsi Rp3 miliar dengan tersangka Bupati Tobasa St.Drs.Monang Sitorus, SH.MBA.

Pengamatan Waspada di lapangan, seperti biasanya aksi demonstrasi itu berlangsung dengan membawa poster-poster dan spanduk bertuliskan kecaman-kecaman atas tindakan Bupati Tobasa yang sewenang-wenang mengambil uang kas daerah Rp3 miliar dan perbuatan mutasi jabatan tanpa memenuhi prosedur peraturan yang berlaku.

Namun sangat disayangkan DPRD Tobasa sebagai lembaga wakil rakyat tidak ada satupun berada di kantornya untuk menerima aksi demonstrasi dalam penyampaian aspirasi atas kinerja eksekutif yang dinilai tidak becus. Keberadaan para anggota DPRD yang menghilang dari kantornya sewaktu aksi demonstrasi menentang kinerja Bupati Tobasa ini sepertinya ada unsur kesengajaan.

Dugaan adanya unsur kesengajaan ini tidaklah hanya tuduhan semata karena sewaktu aksi demonstrasi mendukung kepemimpinan Bupati Tobasa, Selasa (21/8) nampak hadir para anggota dewan Sabam Simanjuntak, Herbet Sibuea, Vespasianus Panjaitan, Togar Manurung, Parulian Gurning dan Parade Manurung untuk menerima aspirasi mereka.

Pancasila Sibarani dalam orasinya mengatakan selain mengambil uang kas daerah Rp3 miliar ternyata kinerja Bupati Tobasa selama kepemimpinannya sama sekali tidak ada program pemerintah yang mengarah untuk kesejahteraan rakyat hanya terlihat untuk kepentingan golongan tertentu.

Seperti program Askes Tobamas dengan menghabiskan anggaran miliaran rupiah APBD Tobasa namun tetap dikutip uang lagi dari rakyat dengan alasan untuk berobat gratis, kata Sibarani, itu merupakan tindakan pembodohan karena program kesehatan nasional sudah ditetapkan warga negara ekonomi lemah di mana saja gratis untuk berobat.

Untuk itulah perjalanan kegiatan program Askes Tobamas ini perlu diusut penggunaan anggarannya yang telah menghabiskan anggaran miliaran rupiah kata Sibarani, apalagi dasar hukum pemakaian anggarannya tidak jelas dan terkesan hanya menguntungkan oknum-oknum tertentu.

Program tanaman jagung itu juga hanya pemborosan anggaran saja apalagi dengan adanya penyiapan dana penyanggah untuk menampung hasil pertanian komoditi jagung hingga mencapai miliaran rupiah."Bagaimana mungkin rakyat bisa menanam dan makan jagung padahal sejak jaman dahulu turun temurun menaman padi dan makan nasi, itu mustahil dapat diubah" katanya.

Lain halnya dengan Christian Manurung yang berbaju lengkap PNS mewakili rekan-rekanya dalam berorasi mengatakan, tidak takut dipecat untuk berjuang membasmi para koruptor yang berada di tubuh Pemkab Tobasa." Selaku PNS saya berhak dan tidak mau mempunyai pemimpin koruptor yang menghabiskan anggaran untuk kepentingan pribadinya saja" katanya.

Pada kesempatan itu, pembacaan pancaprasetya Korps PNS dilakukan Christian Manurung untuk memberikan pencerahan bagi rekan-rekannya pegawai agar jangan takut dalam menegakkan kebenaran dan menentang perilaku pimpinan yang dinilai melanggar ketentuan hukum.

Menyikapi situasi Kab. Tobasa, aktivis LSM Rikson Sibuea, putra perantau bermukim di Medan kepada Waspada melalui telepon selular mengatakan hendaknya pihak Poldasu secepatnya menyelesaikan status hukum Bupati Tobasa.

Thursday, July 19, 2007

Tony

Den Bravo Tangkal Imperialisme

 

Detasemen Bravo 90 terbilang paling muda. Baru dibentuk secara terbatas di lingkungan Korps Pasukan Khas AU pada 1990, Bravo berarti yang terbaik. Konsep pembentukannya merujuk kepada pemikiran Jenderal Guilio Douchet: Lebih mudah dan lebih efektif menghancurkan kekuatan udara lawan dengan cara menghancurkan pangkalan/instalasi serta alutsistanya di darat daripada harus bertempur di udara.

Dari dasar ini, Bravo 90 diarahkan menjalankan tugas intelijen dalam rangka mendukung operasi udara, menetralisir semua potensi kekuatan udara lawan serta melaksanakan operasi-operasi khusus sesuai kebijakan Panglima TNI. Saat dibentuk, Bravo diperkuat 34 prajurit ­ 1 perwira, 3 bintara, 30 tamtama. Entah kenapa, sejak dibentuk hingga akhir 1990-an, hampir tak pernah terdengar nama Bravo. Dalam masa "vakum" itu, anggotanya dilebur ke dalam Satuan Demonstrasi dan Latihan Depodiklat Paskhas (Satdemolat). Baru pada 9 September 1999, dilaksanakan upacara pengukuhan Detasemen Bravo dengan penyerahan tongkat komando.

Prajurit Bravo diambil dari prajurit para-komando terbaik. Setiap angkatan direkrut 5-10 orang. Untuk mengasah kemampuan antiteror, latihan dilakukan di pusat latihan serbuan pesawat GMF Sat-81 Gultor, latihan infiltrasi laut dalam rangkan penyerbuan pangkalan udara lepas pantai di pusat latihan Denjaka, latihan UDT (under water demolition) di sarana latihan Kopaska, serta latihan penjinakan bahan peledak di Pusdikzi Gegana, Polri. Hanya saja diakui KSAU Marsekal TNI Chappy Hakim, persenjataan Bravo sudah sangat tidak memadai.

Masalahnya sekarang, mungkinkah ketiga satuan ini digabungkan ke dalam satu Satgas? Pertanyaan ini kiranya terpulang ke Pimpinan TNI dan Pemerintah. Hanya saja sebagai gambaran, hampir tidak pernah terdengar ada satgas pasukan khusus (antiteror) di mancanegara. Karena kekhususan kemampuan yang dimiliki masing-masing satuan, mereka lebih dibiarkan berjalan mandiri namun siap digerakkan sewaktu-waktu bila diperlukan baik dalam operasi khusus maupun operasi gabungan.

Saturday, March 24, 2007

Tony

Perampok Emas Bersenjata Dari Tarutung Diadili

 
Perampok Bersenjata Api Kuras Ratusan Juta Rupiah Diadili di Tarutung

Mar 24, 2007 at 09:09 PM
Tarutung (SIB)

Perampok emas dan uang kontan pakai senjata api, sehingga ratusan juta rupiah
milik korban Romianna Br Simamora ludes di Jalan Pahae, Desa Simasom, Tarutung–Taput, disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Tarutung dengan terdakwa YSP dan CAB dalam berkas terpisah, Kamis (22/3).

Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) B Nababan SH dikatakan, Selasa 14 Nopember 2006 sekitar pukul 16.00 WIB ketika korban bersama anaknya Henro Gultom pulang seusai berjualan emas di Pasar Sarulla, dalam perjalanan menuju Tarutung mengenderai mobil L 300 BK 1636 JP dikemudikan Harison Lumbangaol disuatu jembatan di kawasan Sarajevo terdakwa tiba-tiba menyelipkan mobil kijang Krista warna Silver BK 1540 GF sehingga mobil yang ditumpangi korban terhenti mendadak.

Kawanan rampok yang memakai senjata api masuk kedalan mobil yang ditumpangi korban, lalu menodongkan senjata pistol ke arah korban seraya berkata: ”Jangan bergerak, buka – buka cepat mana emas mu” dan salah seorang dari kawanan rampok menguasai setir. Sementara seorang dari perampok berkata : “tembak sekali kakinya biar ngerti ”. Sehingga korban ketakutan dan berkata : “ Ambil kalianpun itu tapi jangan lukai orang”.

Dari tas korban diambil uang kontan Rp 50 juta dan emas berupa cincin berbagai bentuk, gelang, kalung berbagai bentuk, rantai serta gelang berbagai model bernilai ratusan juta disikat. Setelah itu kawanan rampok singgah di rumah Hendrik di Tarutung dan disitu dibagibagikan uang kontan hasil rampokan. Sementara terdakwa CAD meneruskan perjalanan menuju P Siantar, tapi tertangkap di tengah jalan bersama mobil Krista yang dikemudikannya di Siborongborong oleh petugas kepolisian yang telah menerima informasi tentang kejahatan tersebut.

Atas kejelian petugas Polres Taput dengan strategi yang mantap dari Kapolres Taput AKBP Eko S terdakwa YSP tertangkap di Medan. Sehingga kasus perampokan tersebut dapat terungkap. Sementara 5 orang lainnya berinitial PP,RG,MS,MS,LS masih status DPO.

Perbuatan terdakwa diancam hukuman berat 9 tahun sesuai dakwaan tunggal melanggar pasal 365 ayat 2 ke 2 KUHP.

Pada persidangan yang dipimpin Majelis Hakim Gerhard Pasaribu SH didengarkan keterangan saksi : Rumianna Br Simamora, Henro Gultom, Harison Gultom dan Hendrik Lumbantobing yang pada pokoknya menerangkan sesuai dakwaan JPU. Guna pemeriksaanselanjutnya, sidang diundurkan seminggu.

Wednesday, March 14, 2007

Tony

Dakwah Dan Pembangunan Masyarakat

 
28 Feb 07 05:02 WIB
Dakwah, Tanggung Jawab Semua Dan Berkelanjutan
WASPADA Online


Oleh Hj Erma Sujianti Tarigan

Islam mengajarkan kepedulian terhadap apa yang terjadi di alam jagat raya. Kita ambil saja ajarannya di dalam ayat dan hadist yang menyebutkan tentang "Saling menasihatilah kamu dalam kebenaran," dan "Sampaikanlah walau hanya satu ayat," serta disebutkannya bahwa kita semua merupakan "khalifah (pemimpin) di bumi " ini, dan setiap pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawabannya.

Pertanggungjawaban yang dimintai dari kita adalah tentang apa yang kita lakukan di muka bumi sepanjang umur dan kelak di peradilan akhirat semua tampak nyata, di mana malaikat tidak bisa disuap untuk meringankan dosa-dosa sebab malaikat tidak punya nafsu untuk kemewahan dan kelezatan dunia.

Dakwah
Sesuai judul, adakah kita pernah berdakwah? Dakwah sebagaimana disampaikan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan, Prof Dr H M Hatta, adalah mengajarkan orang untuk beramar ma'ruf nahi mungkar, mengajak orang kepada kebaikan dan menentang kemungkaran. Dakwah disampaikan dengan bahasa masyarakat setempat agar mudah dimengerti, dan nyambung. Perlu pula menanamkan sikap jihad dalam berdakwah, katanya.

Muhammad Hatta menyampaikan pendapat serta paparannya dalam acara peluncuran biografi Tuan Guru H Sulaiman Tarigan serta diikuti dengan Dialog Dakwah di Tanah Karo: Dulu, Kini dan Akan Datang, yang digelar di Emerald Garden Hotel, Sabtu (24/2) dengan makalahnya berjudul,"Relevansi Metode Dakwah Tuan Guru H Sulaiman Tarigan Ditinjau Dari Segi Metode Dakwah Modern," juga menghadirkan pembicara Prof Dr Hasyimsyah Nasution, MA., dari IAIN SU tentang "Islam, Adat Karo dan Dakwah Kultural," Drs Baharuddin Pardosi (Kakandepag Kabupaten Karo) tentang "Problematika Dakwah Islam di Tanah Karo-Dulu, Kini dan Nanti," dan Dr Hasan Bakti Nasution, MA., Pengurus MUI Sumut tentang "Peranan MUI dan Ormas Islam dalam Membangun Akselerasi Dakwah Islam di Tanah Karo."

Acara peluncuran biografi Tuan Guru H Sulaiman Tarigan (karya Drs Azhari Akmal Tarigan, MA/ustaz/dosen IAIN SU) dan diikuti dialog dakwah ini hemat penulis sangat berhasil dan mendapat sambutan yang sangat antusias dari ratusan peserta yang memenuhi ruang tempat acara berlangsung, semangat dan tertib hingga acara usai. Tampak hadir dan memberi sambutan Ketua MUI Sumut Prof Dr H Abdullah Syah, MA., Rektor IAIN SU Prof Dr HM Yasir Nasution, Kakanwil Depag SU Drs H Zainal A Nurdin, tokoh masyarakat Karo/pengusaha Ketua Umum Yayasan Sirajul Huda, H. KP Malik Tarigan, Letjen TNI (Purn) H Arifin Tarigan, SH., serta sejumlah tokoh agama, pendidik, dan kalangan Ormas.

Sesungguhnyalah ketokohan seorang H Sulaiman Tarigan khususnya untuk wilayah Tanah Karo sebagai seorang pendakwah tidak bisa dipandang sebelah mata, dan bahkan untuk lingkup lebih luas yakni di jaman perang kemerdekaan beliau juga aktif dengan mendirikan Partai Masyumi di T Karo dan membentuk Lasykar Hizbullah dan Lasykar Sabilillah T Karo yang sebagai komandannya beliau tunjuk adalah Alm. H Abdul Razak Tarigan, yang sebelumnya di jaman pendudukan Jepang sudah terlatih sebagai tentara Heiho.

Di jaman yang serba sulit di masa hidupnya 100 tahun yang lalu, seorang pemuda bernama Sulaiman Tarigan putra dari Sibayak Juan Tarigan (pemeluk agama Islam pertama di Tanah Karo), dengan gigih belajar agama ke Kutacane, berguru pada orang Aceh bernama Tgk Muda dan kemudian berdakwah di lingkungannya dengan metode sederhana yakni adat budaya Karo yang dilandasi sistem kekerabatan 'Sangkep Si Telu,' mengajak kaum kerabatnya untuk memeluk Islam secara berbisik-bisik. Dakwah secara kultural yang dilakukannya cukup berhasil membentuk komunitas muslim Karo di kawasan Singalor Lau, Tanah Karo, hingga kini. Beliau juga membangun masjid dan madrasah/pesantren Sirajul Huda yang hingga kini tetap eksis. Terlebih pula beliau berpoligami (memiliki tiga orang istri) sehingga dari segi kuantitas semakin besar dan kekerabatannya semakin meluas. Ternyata poligami, salah satu cara yang sangat efektif dalam berdakwah, bukan?

Kaderisasi dakwah
Dengan kehidupannya yang sederhana sebagai petani dan guru agama yang kemudian menjadi Kandepag Kabupaten Karo yang pertama, Tuan Guru Sulaiman Tarigan mengirimkan tiga orang keponakannya yang cepat jadi yatim masing-masing Alm. H. Abdul Manaf Tarigan dan H Khairullah Tarigan belajar agama di Kesultanan Langkat, dan satunya lagi Alm. H Abdul Razak Tarigan dikirim ke Masjid Lama (Masjid Bengkok) di Medan.

Ketiganya merupakan kaderisasi yang beliau lakukan untuk melanjutkan dakwah Islam di Tanah Karo. Kelak di kemudian hari kadernya tersebut H Abdul Manaf Tarigan yang menetap di Jl PWS Medan, menjadi ustaz yang sangat dikenal utamanya di lingkungan masyarakat muslim Karo, H Khairullah Tarigan menetap di Tigabinanga, Kabupaten Karo menjadi ustaz/tuan kadhi dan mantan Ketua MUI Kabupaten Karo, sedang Alm H Abdul Razak Tarigan, sempat jadi guru agama di Kabanjahe, dan kelak aktif sebagai pejuang dan namanya sejajar dengan Jamin Ginting dan Selamat Ginting. Almarhum H Abdul Razak Tarigan beberapa kali menjadi kurir untuk bertemu pahlawan Aceh Daud Beureuh. Bedanya, perjuangannya hanya dengan niat "Lillahi Ta'ala." Kaderisasi da'i di keluarga besar ini terus berlanjut, tercatat seorang ustaz muda H Abdul Azis Tarigan, LC yang sedang mengambil S-2 di IAIN Sumatera Utara.

Proaktif
Dari ketiga hal di atas (alinea pertama) penulis berpendapat bahwa Islam sudah memerintahkan kita untuk selalu, dan setiap hari berdakwah. Berdakwah dalam artian bukanlah dakwah yang terorganisir dengan sistem dan metode tertentu di bawah lembaga tertentu dan dengan dana tertentu pula. Melainkan dilakukan oleh setiap individu muslim/muslimah secara ikhlas atas dasar adanya rasa tanggungjawab terhadap alam semesta ini, rasa tanggungjawab terhadap perubahan dan pergeseran nilai-nilai dari nilai ideal sebagaimana ajaran agama.

Dengan kata lain, Islam memiliki ajaran yang dapat membentuk umatnya menjadi manusia yang sangat proaktif dalam beramar ma'ruf nahi mungkar. Peduli terhadap masalah sosial, budaya, politik dan membela tanah air, peduli terhadap lingkungan, serta bersikap proaktif untuk menata alam semesta ini sesuai ajaran Islam. Maka dengan mengimplementasikan ajaran agama Islam itulah nantinya terbukti Islam merupakan rahmat bagi alam semesta.

Ajaran Islam memang tidak bisa hanya didiskusikan, dibahas dan diperdebatkan, melainkan kata kuncinya adalah mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dari pengimplementasian Islam sebagai agama damai secara konsisten itulah Islam membawa nuansa kedamaian dan perdamaian. Barangkali masalahnya hari ini adalah betapa semakin jauhnya kita dari nilai-nilai Islam, sehingga jumlah pemeluk agama Islam mengalami penurunan baik di Indonesia, maupun di Tanah Karo sendiri. Di Tanah Karo dakwah sedang mengalami penurunan, seringkali para mualaf tidak mendapat pembinaan secara serius dan berkelanjutan, dengan kata lain setelah dikhitan, mereka ditinggalkan begitu saja.

Yang menggembirakan justru di Eropa dan Amerika umat Islam mengalami peningkatan setelah peristiwa 11 September. Karenanya seorang ulama Mesir meramalkan, kebangkitan Islam kemungkinan terjadi di Barat, bukan di negara Islam seperti Indonesia yang sedang dirundung musibah beruntun sebab bersifat sangat korup. Ramalan ulama Mesir tersebut memang masuk di akal, sebab ajaran Islam hanya bisa dipahami oleh orang yang cerdas dan berhati lurus sehingga mengimplementasikannya juga benar (tidak disusupi nilai adat istiadat dan nilai-nilai lain), melainkan sesuai Al Quran dan As-Sunnah.

Tanggungjawab
Dakwah merupakan tanggungjawab kita semua. Dakwah dapat dilakukan melalui kegiatan atau profesi yang dilakoni setiap hari. Dakwah dapat dilakukan melalui diri sendiri, yakni dengan cara konsisten pada ajaran Islam, tidak bermuka dua, tidak berperilaku munafik (lain kata dengan perbuatan). Di sinilah terbukti Islam merupakan rahmat bagi alam semesta.

Memang akan lebih baik dakwah dilakukan secara terorganisir, sistematis dengan metode kultural dan modern, terus menerus berkelanjutan, tidak tergantung dana, namun keadaan keluarga para juru dakwah harus mendapat perhatian. Dakwah yang bertujuan membangun akhlakul karimah bukan kerja ringan, melainkan sangat berat terlebih kita berada di jaman yang kapitalistik dan hedonistik. Hanya iman yang tangguh mampu konsisten beragama dengan baik.

* Penulis adalah wartawati Waspada/moderator pada acara Dialog Dakwah Di T.Karo; Dulu, Kini dan Akan Datang
Tony

Napak Tilas Perjalanan Sufi Batak

 
Parmalim, Tasawuf dan Penjajahan
Parmalim, Tasawuf, Suluk dan Penjajahan Belanda
By. Julkifli Marbun
Dari: humbahas.blogspot.com



Tasawuf sebagai sebuah fenomena penghayatan agama Islam diperkirakan mulai masuk secara sistematis ke Tanah Batak sejak abad ke-10 M. Walau begitu, eksistensi masyarakat Islam di Tanah Batak telah dimulai sejak dua atau tiga abad sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya makam mahligai bertarikh abad ke-8 M di Barus yang menguatkan keberadaan komunitas Muslim yang mapan di wilayah tersebut.

Beberapa utusan dagang telah melakukan kunjungan ke Barus, Tanah Batak dalam masa Rasulullah SAW, termasuk beberapa personal sahabat dan tabi’in yang melaut. Komunitas-komunitas muslim mulai eksis dan berasimilasi dengan penduduk Batak di masa pemerintahan Khulafa al-Rasyidin (663-661 M). Hubungan dagang semakin mengalami kemapanan dan kemajuan di masa pemerintahan Dinasti Umayyah (661-750 M). Pada era ini diyakini orang-orang Batak Islam masih menganut agama yang benar-benar dipraktekkan oleh para sahabat dan tabiin.

Walau nilai-nilai sufisme sama umurnya dengan lahirnya agama Islam itu sendiri, diperkirakan sufisme dalam bentuk pengetahuan yang mandiri baru mulai dimasyarakatkan pada masa-masa Abu Mansyur al-Hallaj (w. 922 M), seorang sufi besar dari Baghdad, yang kemudian diikuti oleh sufi-sufi besar lainnya.

Mereka merintis pengembangan ajaran yang berisi tingkatan-tingkatan, maqamat, berikut metode-metode pencapaian spiritual sebagai upaya untuk menemukan hakikat ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah.

Melalui jaringan pedagang, pelaut, ilmuwan-ilmuwan dan para musafir yang lalu lalang antara Timur Tengah ke timur sampai Cina dan ke barat serta selatan menuju beberapa pusat perdagangan di Afrika, ajaran tasawuf mulai dikenal oleh masyarakat Islam di berbagai belahan dunia. Barus yang saat itu merupakan destinasi dan pusat perdagangan yang aktif, bersama Lamuri, Pidie dan Pasai serta kota-kota kerajaan penting di Nusantara di masa yang sama juga merasakan imbasnya.

Runtuhnya sistem kekhalifahan di Baghdad mendorong desentralisasi pengembangan ilmu pengatahuan di dunia Islam. Umat Islam terpecah dalam kotak-kotak kekhalifahan, kesultanan dan kerajaan yang beragam. Akibatnya, kemandirian dan kematangan tasawuf bersama dengan ilmu pengetahuan lainnya mengalami kemapanan di beberapa pusat kebudayaan Islam di dunia, tidak hanya bersumber dari Baghdad. Di beberapa kerajaan dan kesultanan baru Islam di belahan dunia, termasuk Nusantara, tasawuf sebagai bagian dari ilmu pengetahuan mengalami pengembangan yang sangat pesat.

Alhasil beberapa pemahaman tasawuf mengalami percabangan yang sangat variatif jumlahnya. Di antarannya adalah Tarekat Qadiriyah di Baghdad yang didirikan oleh Syeikh Muhyiddin Abdul Qadir al-Jailani (w. 1166 M), Tarekat Rifa’iyah di Asia Barat yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Rifai (w. 1182 M), Tarekat Sadziliyah di Maroko yang didirikan oleh Syeikh Nuruddin Ahmad ibn Abdullah al-Syadzily (w.1228 M), Tarekat Badawiyah di Mesir yang erat hubungannya dengan Syeikh Ahmad Badawi (w.1276 M), dan Tarekat Naqhsabandiyah di Aria Tengah yang didirikan oleh Syeikh Muhammad Baha’uddin al-Naqhsabandiyah (w. 1317 M).

Di Tanah Batak, tidak banyak informasi yang didapat mengenai siapa tokoh yang paling berperan dalam mengembangkan tasawuf atau sufisme secara sistematis. Namun beberapa tokoh Batak yang diperkirakan ikut serta dalam mensosialisasikannnya adalah Syeikh Rukunuddin yang makamnya berada di kompleks makam mahligai, Barus-arah barat dari Danau Toba, bertarikh abad ke-8 M dan Tongku Malim Lemleman di abad ke-10 di Portibi, sebuah kerajaan kuno Batak di arah selatan Danau Toba. Sumbangsih mereka dalam sufisme tidak dapat dirinci secara detail karena belum ada riset mengenai biografi kedua tokoh tersebut. Semua informasi hanya didapat dari memori kolektif masyarakat dalam bentuk legenda dan beberapa bukti arkeologi dalam bentuk makam.

Namun satu hal yang perlu dicatat di sini adalah adanya faktor ketidaksengajaan dalam penyebarannya di Tanah Batak. Pertama dibawa oleh para kaum pedagang, musafir dan pengelana ilmu dan yang kedua tasawuf mengalami pengembangan dan perkembangbiakan akibat krisis politik di Baghdad. Maju mundurnya pengamalan tasawuf di Tanah Batak juga sangat dipengaruhi oleh iklim politik regional saat itu. Islam sebagai sebuah ajaran mengalami tekanan dari kalangan Buddha yang diback-up oleh Cina di masa pemerintahan Dinasti Tang (730 M). Orang-orang Cina merasa terancam karena kerajaan-kerajaan Nusantara mulai menguasai jalur perdagangan dan memeluk agama Islam seperti Sri Maharaja Sri Indra Warman, Raja Sriwijaya di Jambi pada tahun 718 M dan Raja Kalingga di Jepara yang bernama Raja Jaya Sinna di zaman yang sama.

Orang-orang Batak Islam mulai bergelut dengan masalah sendiri untuk mengembangkan Islam dengan metode mereka sendiri. Mereka berusaha melawan keterisolasian akibat krisis politik internasional saat itu.

Saat orang-orang Mesir dari Dinasti Fathimiyah (978-1168 M) mulai mengirim bantuan dan dukungan militer terhadap kesultanan-kesultanan pribumi di Sumatera barulah perkembangan ilmu pengetahuan di Tanah Batak mulai bernafas kembali. Pasukan angkatan laut dan marinir Mesir ini menguasai kembali jalur-jalur perdagangan ke Sumatera yang mencakup Gujarat sehingga para musafir dan haji-haji dari Tanah Batak dapat melakukan kunjungan-kunjungan ke pusat-pusat ilmu pengetahuan di Timur Tengah.

Pengaruh dari masuknya orang-orang Mesir ke Sumatera, yang juga mencakup Tanah Batak ini, adalah masuknya beberapa tarekat yang sama sekali baru dikenal di Sumatera. Salah satunya adalah Tarekat Badawiyah yang tidak diketahui pasti apakah tarekat ini mendapat anggota atau tidak.

Saat krisis politik melanda Mesir dengan tumbangnya Dinasti Fathimiyah di tangan Dinasti Ayyubiah dengan pendiri Sultan Salahuddin pada tahun 1168 M, faham tasawuf diperkirakan semakin menancap dalam sistem adat, politik dan sosial pribumi di Sumatera. Orang-orang Mesir di Sumatera semakin leluasa untuk mengembangkan ajaran ini dan sekaligus mendirikan Kesultanan-kesultanan baru yang madiri dari kepemimpinan Mesir seperti Kesultanan Perlak pada tahun 1168 M. Para saudagar, musafir dan ilmuwan mesir ini dengan leluasa menguasai semua pusat-pusat perdagangan di Sumatera yang berakibat kepada makin banyaknya pribumi Sumatera mengenal ajaran tarekat mereka.

Pada tahun 1191 M, komunitas Muslim di Kampung Minangkabau, Jambi mulai mengalami tekanan politik dari Tentara Darmasyara yang Buddha. Mereka, dengan pimpinan Panglima Zulfiqar Al-Kamil, mantan panglima Dinasti Fathimiyah di Sumatera menyelamatkan para muslim dan mengungsikannya ke Kampar. Di zaman inilah, 1191 M, dikenal seorang ulama sufi terkenal yang bernama Syeikh Burhanuddin Ulakan yang murid-muridnya menyebar ke segala penjuru Nusantara dan menguasai peta pendidikan dan organisasi tasawuf di Sumatera. Pengaruhnya diyakini mendapat pengikut yang sangat antusias di kalangan masyarakat Batak di Tanah Batak.

Syeikh Burhanuddin Ulakan yang diperkirakan meninggal tahun 610 H ini secara turun temurun menjadi imam para sufi di Sumatera sampai kepada generasi Syeikh Burhanuddin Ulakan Pariaman yang wafat pada tahun 1691 M. Orang-orang Batak yang paling dipengaruhi oleh paham mereka ini adalah orang-orang Batak di pesisir Barat (Natal, Singkuang, Barus, Singkil dan Sibolga) dan Timur Sumatera, orang Mandailing dan Toba. Khusus di daerah Toba, istilah yang paling lazim yang diambil dan diadopsi menjadi kata Batak adalah kata malim dan parmalim yang telah lama digunakan oleh para pengikut Syeikh ini.

Walaupun begitu, di tanah Batak pada zaman ini, tidak dikenal ada sebuah aliran yang yang sangat dominan. Diperkirakan hal itu terjadi karena perubahan konstelasi politik yang sangat konstan. Belum lagi sebuah faham tertanam kuat, sebuah aliran lain yang berwarna syafii mulai berkembang di Tanah Batak saat Dinasti Mamluk berkuasa di Mesir pada tahun 1252 M. Hal itu diperparah dengan masuknya bentuk-bentuk lain dari pusat-pusat peradaban dan politik Islam seperti Persia, Maroko, Gujarat dan Cina.

Paska hegemoni mazhab syiah dan sunni yang syafii, bersamaam pula muncul tokoh-tokoh Batak yang mempunyai faham yang berbeda seperti Abdul Rauf Fansuri dari Fansur Barus, Tanah Batak, yang disinyalir membawa ajaran Ibadiyah dan Abdulrauf Sungkily dari Singkel yang syafi’i.

Hamzah Fansuri yang kemudian dikenal sebagai pentolan wahdatul ujud di Tanah Batak mendapat banyak kritikan dari ulama-ulama Aceh seperti Nuruddin al-Raniry. Akibat dari pertentangan ini semua adalah bahwa ajaran Islam yang di dalamnya sufisme mengalami kemandekan yang berakibat kepada melambatnya pengajaran Islam kepada para kaum animisme di perbukitan yang terisolir. Komunitas-komunitas yang animis dan terisolir itu akhirnya hanya mendapat informasi mengenai sufisme dari mulut-ke mulut melalui para pedagang Batak yang mengitari setiap huta untuk berdagang.

Sufisme kemudian hanya dikenal sepenggal-penggal dan mengalami sinkretisasi di dalam adat dan budaya Batak. Pengaruh sufisme tersebut masih tercermin dalam ritual-ritual dan tabas-tabas yang berfungsi sebagai kekuatan-kekuatan magis yang sangat diminati masyarakat Batak saat itu.

Sufisme, tidak hanya di Tanah Batak tapi di seluruh dunia kemudian mengalami evolusi yang kemudian bersentuhan dengan politik praktis. Munculnya Dinasti Murabithun (1056-1147 M), Muwahhidun (1130-1269 M) di Spanyol dan Dinasti Safawiyah (1501-1732 M) di Persia merupakan realitas kehidupan sosial politik kaum sufi yang lebih nyata dalam membina, memelihara dan mengayomi masyarakat dan ummat.

Perkembangan selanjutnya di abad ke-15 M sampai 18 M, di Sumatera bermunculan tarekat baru yang semuanya bermula dari hubungan dagang yang intens antara pribumi dengan dunia luar. Di antaranta Bektasyiah dari Turki, Khalwatiyah dari Persia, Sanusiyah dari Libya, Syattariah dari India dan Tijaniyah dari Afrika.

Kalau dikatakan bahwa di tanah Batak, walau dimasuki oleh beberapa faham tarekat tasawuf, tidak ada tarekat yang dominan, namun sebuah tarekat yang mempunyai akar yang sangat kuat sampai sekarang adalah tarekat Syattariyah. Tarekat ini bahkan menancap kuat dan sampai abad ke-21 beberapa komunitas muslim Batak masih mempraktekkannya dengan atau tanpa tahu bahwa hal tersebut merupakan bagian dari ajaran syattariyah.

Pusat-pusat pengembangan syattariah adalah Barus, Sibolga, Singkuang dan Natal. Di tempat-tempat inilah ajaran tersebut mengalami pribumiisasi sebelum akhirnya menyebar ke pelosok dan pedalaman Tanah Batak yang terisolir oleh tangan-tangan para paronan. Daerah Natal, di Tapanuli Selatan, dengan eksistensi ulama-ulama lokalnya bahkan melahirkan ‘mazhab’ baru dalam sufi yang kemudian di kenal dengan mazhab Natal yang berkembang di abad ke-18. Para ulama-ulama lokal di Tanah Batak kemudian mendirikan pusat-pusat pendidikan yang baru di berbagai wilayah Tanah Batak yang benar-benar diawaki oleh orang Batak seperti yang ada di Huta Pungkut.

Masuknya Belanda dengan penjajahannya membawa kemelaratan dan kemunduran peradaban di Tanah Batak. Sufisme di Tanah Batak yang terwujud dalam organisasi-organisasi peribadatan suluk maupun dalam bentuk sinkretisme seperti parmalim, parhudamdam dan parsitekka yang dikenal dengan istilah mereka pitu hali malim pitu hali solam yang berarti tujuh kali suci dan tujuh kali keramat (Malim dari kata Muallim dan Solam dari kata Islam), sebuah istilah yang ditujukan kepada orang-orang Batak yang suci dan dianggap keramat, bangkit dan berada di garis depan dalam menentang para penjajah tersebut.

Belanda dengan politik devide et impera dan eksploitasi tanpa prikemanusiaan menerapkan beberapa ordonansi yang berakibat kepada primitivisasi orang-orang Batak. Perbudakan digalakkan dengan ordonansi tahun 1808 dan disamarkan oleh pemerintah penjajah Belanda pada tahun 1856 dengan istilah kerja paksa. Antara tahun 1830-1870-an, penjajah memberlakukan pajak tanaman dan pencabutan hak atas tanah petani yang tak sanggup membayar pajaknya. Semua orang menjadi budak.

Kemudian pada tahun 1882, tiap-tiap kepala pribumi dikenakan pajak satu Gulden, apabila ia tidak sanggup bekerja di perkebunan-perkebunan para penjajah. Selain mengeksploitasi penduduk secara ekonomi, pihak penjajah juga menghancurkan sistem dan tatanan sosial orang-orang Batak. Orang Batak semakin melarat sementara Amsterdam dan Rotterdam semakin makmur.

Pada tahun 1849 Asisten Residen Mandailing Ankola, tangan penjajah di daerah, berusaha membasmi orang-orang Batak yang Islam, sesuai dengan misi Devide et Impera dengan menerapkan gagasan untuk memisahkan orang-orang Batak yang sudah Islam dengan mengkristenkan orang-orang Batak pelebegu. A.P. Godon yang sudah pensiun sejak tahun 1857 menyatakan dalam suatu diskusi: "Dalam laporan umum tahun 1849 selaku Asisten Residen Mandailing Angkola, saya menyatakan bahwa guru agama Kristen pada saat itu masih bisa bekerja dengan dengan baik. Saya sarankan agar antara suku Melayu-Batak Islam dan Batak harus dipisahkan dengan jelas. Metode yang paling baik adalah menyeru orang-orang Batak pelebegu agar masuk Kristen." (Lihat O.J.H. Graaf van Limburg Stirum, hal. 126).

Penculikan dan pengusiran terhadap para tokoh masyarakat dan pengajar serta haji-haji orang Batak juga diterapkan melalui Beslit Rahasia Gubernur Jenderal No. 1,3 Juni 1889. Orang-orang marga Hutagalung dan Sitompul di Silindung merupakan kelompok masyarakat Batak Islam yang paling banyak diusir dari tanah leluhur mereka, di samping kelompok marga lain di beberapa wilayah Batak, karena mereka banyak yang sudah haji (lihat: Beslit Rahasia Gubernur Jenderal No. 1,3 Juni 1889).

Organisasi-organisasi suluk dan tasawuf Batak semakin meningkatkan perlawanan mereka terhadap penindasan para penjajah ini. Namun sayang kekuatan mereka tidak sebanding dengan hegemoni penjajah Belanda yang justru didukung oleh para pribumi Nusantara yang menjadi tentara bayaran. Para sultan-sultan Batak di Barus, Sibolga, Sorkam dan Singkil dikebiri dan hak-hak mereka sebagai sultan dihapuskan secara paksa.

Dua orang residen penjajah di Tapanuli bernama Westenberg dan Barth merupakan sedikit contoh tokoh yang benar-benar mempraktekkan pembasmian orang-orang Batak yang Islam, bahkan Westenberg, secara politik, memberi contoh memecat kepala desa yang masuk Islam. Pemerintah penjajahan Belanda menyetujui hal itu karena sesuai dengan jiwa beslit rahasia 1889 tersebut. (M. C. Jongeling, Het Zendingconsulaat in Nederlands Indie, 1906-1942, (Arnheim, 1966) Hal. 112). Namun dukungan penjajah seperti ini tidak mampu menghentikan kekuatan pribumi yang anti-penjajahan.

Pada tahun 1903, Kepala Kampung Janji Angkola, Aman Jahara Sitompul, yang telah menjadi Kepala Kampung selama 23 tahun, masuk Islam berkat anaknya Syeikh H. Ibrahim Sitompul. Akibatnya Aman Jahara Sitompul diberhentikan sebagai Kepala Kampung atas dasar beslit rahasia 1889.

Syeikh H Ibrahim melakukan perlawanan dan melakukan aksi politik dengan menayakannya kepada Dr. Hazeu, Adviseur voor Islandsche zaken. Alih-alih mendapat tanggapan, laporannya baru resmi diterima enam tahun kemudian, yaitu pada tahun 1909. Dr. Hazeu berusaha melakukan himbauan kepada kekuatan penjajah yang ditolak mentah-mentah oleh Residen Westenberg dengan penegasan sekali lagi bahwa pegawainya telah melaksanakan kebijakan yang digariskan pada tahun 1889.

Sikap Residen Westenberg kemudian dipertegas oleh rezim penjajah dengan pernyataan Frijling, Penasehat Urusan Luar Jawa, untuk menerapkan kebijakan rahasia tersebut apa adanya.

Di lain pihak pada tahun 1903, Janji Angkola Pabea Sitompul, saudara Syeikh Ibrahim Sitompul, berusaha keras untuk mengembalikan kehormatan ayahnya. Namun kali ini tanggapan keras datang dari pihak penjajah. Dia terbentur tembok dengan adanya surat keputusan dari pimpinan tertinggi penjajah di Indonesia yakni keputusan Gubernur Jenderal Penjajah tanggal 5 Juni 1919 yang tidak mengabulkan pengaduan tersebut. (Lihat; "Christelijke Zending en Islam in Indonesia", dalam Koleksi GAJ. Hazeu, No. 42, KITLV, Leiden. Bandingkan dengan Lance Castles, The Political Life of Sumatran Residency: Tapanuli 1915-1940, disertasi, Yale University, 1972, Hal. 91-93.

Sementara itu, pada bulan Maret 1919, di Janji Angkola diadakan pemilihan kepala kampung baru. Sekalipun jumlah warga Batak yang beragama Kristen sebanyak 400 orang, sedang warga Batak yang muslim hanya 60 orang, namun ternyata Syeikh Ibrahim Sitompul yang menang dalam pemilihan tersebut. Tapi Kontrolir Silindung Heringa menyarankan agar residen mengangkat Aristarous, bukan Syeikh Ibrahim Sitompul.

Residen Vorstman sadar dengan instruksi rahasia 1889, kemudian mengadakan pemilihan ulang, dengan harapan pihak Batak Islam akan tersudut. Namun ternyata Syeikh Ibrahim Sitompul tetap keluar sebagai pemenang, dengan suara 218 lawan 204. Residen Vorstman tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kekuatan anti-penjajahan kali ini berhasil unjuk gigi.

Dalam pada itu hubungan perdagangan antara daerah Singkel dan Dairi juga diputus dengan alasan Devide et Impera. Dengan demikian orang-orang Batak di tanah Batak pusat akan terisolir dan mudah untuk ditaklukkan.

Asisten Residen Bataklanden dan Residen Tapanuli kemudian melakukan langkah dengan memisahkan orang-orang Batak di Singkel dengan Dairi. Hubungan lalu lintas antara Singkel dan Dairi pun diputus. Raja Batu-batu, seorang Raja Batak Singkel, yang kebetulan seorang muslim dilarang untuk mendatangi rakyatnya di Dairi. (Surat Residen Tapanuli Westenberg ke Gubernur Jenderal tanggal 9 Oktober 1909, dalam Koleksi G.A.J Hazeu). Bahkan sejak tahun 1910 para pedagang Batak Singkel dilarang tinggal di daerah Batak, maksudnya Keresidenan Tapanuli, lebih dari 24 jam. (Nota Lulofs 11 Juli 1915, dalam Lance Castle, Hal 94)

Usaha penjajah Belanda untuk mengkotak-kotakkan orang Batak dalam agama dan teritori agar mudah dijajah juga dilakukan di Silindung. Pada tahun 1915, Lulofs memberikan instruksi sektarian kepada bawahannya agar dibuat batas baru di sebelah utara Janji Angkola, dan politik anti-Islam hanya boleh dilaksanakan di sebelah utara desa tersebut. Dalam suratnya kepada Direktur Pendidikan dan Agama tanggal 16 Mei 1916, Lulofs menjelaskan bahwa dengan adanya garis pemisah, maka bisa diadakan tindakan tegas dalam daerah tertutup. Misalnya dengan menggunakan Ordonansi Guru 1905 untuk menghindari pendidikan Islam di daerah tersebut. Ordonansi Guru ini memungkinkan penjajah dapat memburu, mengusir dan mengasingkan guru-guru Batak Islam yang termasuk para haji-haji dari kalangan Batak.

Namun, pihak zending menentang instruksi- yang dinilai terlalu menguntungkan Islam- ini. Dan menyatakan keheranannya mengapa sikap seorang pegawai demikian simpati kepada Islam. Karena menurut mereka di daerah ini terdapat 15.000 orang Kristen, 3000 orang Batak Islam dan masih banyak animis yang akan diserahkan kepada nabi palsu. (Lihat surat Lulofs kepada Direktur BB tanggal 16 Mei 1916).

Terhadap pemisahan daerah Islam-Kristen semacam ini Hazeu tidak setuju, karena dia tidak membenarkan terjadinya pengusiran seseorang dari daerah tertutup. Dalam suratnya kepada Direktur Pendidikan dan Agama tanggal 29 Desember 1916, Hazeu menyatakan, "Saya memperingatkan dengan keras bahwa Ordonansi Guru tidak boleh digunakan untuk tujuan mengusir haji sebagaimana dibenarkan oleh tuan Lulofs" (Koleksi G.A.J.). Namun, pengusiran dan pemburuan tersebut tetap saja terjadi di tanah Batak

Dalam rangka menghalangi gerak pedagang Batak Islam yang sejak abad 15 telah eksis dan menjadi tulang punggung perekonomian tanah Batak, khususnya dari marga Hutagalung, Hasibuan, Pasaribu dan Marpaung serta marga-marga lainnya, Asisten Residen Fraser mengusulkan dibentuknya koperasi antar sesama orang Batak yang tidak menentang kehadiran penjajah saat itu, di samping menganjurkan agar peternakan babi digalakkan di sana. Saran semacam ini pernah dikemukakan pula oleh seorang tokoh Lembaga Bijbel pertengahan abad lalu, yang ditujukan kepada propagandis Kristen di tanah Batak.

Dia adalah H.N. vander Tuuk yang pada tahun 1851 sampai tahun 1857 menetap di tanah Batak sebagai petugas dari Lembaga Bijbel. Ia memberikan beberapa saran, bagaimana seharusnya petugas Kristen bersikap di tanah Batak, yaitu:

1. Harus disebut Guru, bukan pendeta atau paderi; karena istilah pendeta kurang disukai, baik orang Eropa maupun orang Batak.
2. Harus kawin dengan wanita Eropa, karena pembicaraan antara wanita lebih intim dan seorang wanita lebih berpengaruh daripada pendeta biasa.
3. Harus mendapat gaji yang baik, lebih tinggi dari gaji pegawai pemerintah.
4. Harus berpakaian seperti biasa, tidak memakai jas hitam pendeta.
5. Harus bisa menerima gaji dengan mudah, tanpa dipotong dua setengah persen.
6. Langsung masuk daerah Batak, tidak perlu lama-lama menunggu di Padang agar cepat bisa berbahasa Batak.
7. Harus tinggal jauh dari orang Eropa, karena mereka pada umumnya tidak akrab dengan pribumi.
8. Dalam taraf permulaan hanya omong-omong, secepat mungkin mengajar agar bisa cepat belajar bahasa pribumi. Hanya mengajar kalau diminta oleh mereka.
9. Bersama murid-murid sekolah, harus membaca cerita Batak, baru kemudian membacakan Bijbel.
10. Harus bergaul akrab dengan orang Batak, tapi jangan meminjam uang.
11. Hendaknya tidak menerima hadiah, karena dia harus memberikan hadiah.
12. Hendaknya tidak menghina orang Islam, tapi harus menunjukkan orang kafir sama baiknya dengan orang Islam.
13. Andaikata mengetahui ilmu teknik, harus mengajarkan ilmu tersebut hanya kepada orang bukan Islam.
14. Sebagai peternak harus memelihara babi.
15. Andaikata mempunyai anak, harus hati-hati agar mereka tidak menghina pribumi.
16. Dalam pelaksanaan vaksinasi hendaknya jauh dari pengawasan pegawai, Karena semua pegawai yang beragama Islam, biasa mengucapkan: "Jangan makan babi lagi" setelah memberikan suatu suntikan.
17. Hendaknya tidak menggunakan pemadat sebagai pembantu atau murid.
18. Andaikata memiliki toko, dia tidak hanya akan mendapatkan banyak uang, tapi juga pengaruh yang cukup besar.
Sumber Lihat: R. Nieuwenhuys, H.N. van Der Tuuk: De, Pen in Gal Gedoopt, (Amsterdam, 1962) hal: 81-84.

Pada tahun 1919, pihak zending mengeluarkan brosur dalam dialek Angkola berjudul Ulang Hamu Lilu (jangan sesat), untuk memperkenalkan Islam secara negatif kepada orang Kristen Batak, berdasarkan buku-buku Gottfried Simons yang biasa menentang Islam.

Gottfried Simons adalah seorang zendeling Jerman yang pernah bertugas di Sumatera dari tahun 1896 sampai tahun 1907, dikirim oleh RMG (Rheinische Mission Gesellschaft). Karyanya antara lain;

1. Islam und Christentum im kampf um die Eroberung der animimistischen Heidenwelt, beobachtungen aus der Mohammedaner-Mission in Biederlandisch-Indiesn, (Berlin 1910); (Islam dan Kristen dalam Perjuangan di dunia Animis; Tinjauan zending terhadap orang Islam di Hindia Belanda).
2. Unter den Muhammedanern Sumatras, (Berlin, 1926).
3. Reformbewegungen in Islam (Artikel)

Akibat brosur tersebut yang menurut Hazeu penuh dengan kebohongan dan kepalsuan tersebut, timbullah kehebohan, sehingga untuk mengatasinya brosur tersebut segera disita oleh kontrolir dari rumah zendeling Jerman, Ameler, di Bungabondar.

Asisten Residen bermaksud memanggil pihak zending ke pengadilan, tapi Jaksa Agung di Batavia melarangnya. Kemudian pusat Zending di Tarutung meminta agar brosur yang disita itu dikembalikan secara resmi.

Pada tanggal 12 Juli 1919 brosur tersebut akan dikembalikan dan pihak zending mengumumkan hal itu sebelumnya, meskipun sudah diminta untuk merahasiakannya. Akibatnya timbul kehebohan sehingga zendeling Ameler meminta agar kontrolir tidak jadi datang, karena sudah memancing perhatian pelbagai organisasi beribadatan suluk di Tanah Batak.

Brosur seharga f.0,15 per buah itu bisa laku f.2,-, (Lance Castle, Hal 110-112). Selama ini harapan demikian tinggi untuk bisa mengikis pengaruh Islam dari tanah Batak dengan jalan mempercepat kristenisasi.

Harapan semacam ini didasarkan atas kepercayaan berlebihan tentang superioritas Kristen atas Islam dan dugaan bahwa agama Islam yang sinkretis di negeri ini (seperti parmalim dan agama kepercayaan Batak lainnya yang mirip dengan Islam sedikit atau banyak) akan mudah dikristenkan. Banyak orang Belanda terutama pada abad ke-19 yang berpengharapan demikian (Lihat A. Retif, "Aspect Religiux de l'Indonesie", dalam Etudes, 1945, hal 371-381; Harry J. Benda, "The Crescent and the Rising Sun", op cit., hal. 19).

Dalam perjuangan kemerdekaan dan pergumulan antara orang Batak dengan penjajah Belanda di tanah Batak ini nampaklah kesan bahwa di satu pihak agama Islam berkembang dengan segala kesederhanaannya, sedang di pihak lain agama Kristen dengan segala kelebihannya ditunjang oleh para pejabat dan pegawai kolonial pada umumnya. (Aqib Suminto; Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES).

Cepat berkembangnya Kristen di daerah ini jelas bukan semata-mata karena "gereja-gereja di sana memiliki semangat missioner yang besar" seperti pendapat Dr. F. Ukur yang menyatakan bahwa satu ciri gereja-gereja di Sumatera adalah memiliki semangat missioner yang besar, sehingga dapat berkembang cepat dalam waktu yang relatif singkat. Lihat: Walter Lempp, Benih Yang Tumbuh, XII (Jakarta, 1976), hal. 110.

Dalam laporan tahunannya 1906/1907, Konsul Zending mengakui bahwa pemerintah penjajahan Belanda sering mendukung aktivitas Kristen; bahkan kadang-kadang pemerintah meminta kepada zending agar mereka membuka cabangnya di suatu tempat, seperti di Simalungun tahun 1904 dan Pakpaklanden tahun 1906, dua daerah yang sudah banyak menganut agama Islam selain animisme. Lihat Laporan ke-25 Algemeene Nederlandse Zendingsconferentie, 1911, Hal. 80, tentang "De prediking des zendelings aan de Mohammedanen" atau lihat M.C.Jongeling, op cit., hal 110).

Agaknya memang perluasan kolonial dan ekspansi agama merupakan gejala simbiosis yag paling menunjang. Lihat: H. Kraemer, "De Zending en Nederlands Indie", dalam H. Baudet, & I.J. Brugmans, op.cit., hal 294.

Karena itu zending Kristen dianggap sebagai faktor penting dalam proses penjajahan, walaupun tujuan zending hanya rohani. Semua yang menguntungkan pihak Batak yang Islam di Hindia Belanda berarti merugikan bagi kekuasaan moril pemerintahan penjajah Hindia Belanda. Lihat, Alb. C. Kruyt, "De Inlandsche Staat en de Zending", dalam Indisch Genootschap, 23 Oktober 1906, hal 98).

Simbiosis ini nampak jelas di tanah Batak. Seorang haji Batak asal Pangaribuan dilaporkan datang ke Huta Lumban. Ketika enam orang Batak pelebegu berkomunikasi dengannya dan menyatakan keinginannya masuk Islam dan zending Muller tidak berhasil memurtadkannya kembali, Residen Tapanuli memanggil keenam orang tersebut, tetapi mereka tetap tidak mau keluar dari Islam meskipun diancam akan dibuang. Lihat Buku Harian zendeling Muller di Toba, Juni 1916. Catatan buku harian tersebut dikutip oleh Residen Tapanuli dalam suratnya kepada pimpinan tertinggi penjajah Gubernur Jenderal tanggal 22 Juli 1916 No. 246 (Koleksi G.A.J Hazeu, op cit)

Dilaporkan pula, adanya lima orang Batak Islam, yang menerima kesaksian syahadat para Batak pelebegu, yang dihukum. Dikatakan, berdasarkan beslit rahasia 3 Juni 1889 tersebut hal ini memang tidak bisa dibenarkan. Sebuah beslit yang berusaha menghilangkan Islam sebagai elemen anti-penjajahan dari tanah Batak.

Mereka dituduh telah menyebarkan agama Islam dan dihukum dengan hukuman satu bulan, karena tidak menaati peraturan pemerintahan penjajah Hindia Belanda. Lihat: Surat asisten Residen Bataklanden Fraser ke Residen Tapanuli, 16 Juli 1916. Gubernur Jenderal lebih keras dengan memerintahkan penghentian apa yang disebutnya propagandis Islam tersebut.

Para petani Batak di Sipakpaki Sibolga ada yang dikenakan kerja paksa sebulan, karena menerima syahadat Islamnya beberapa orang di Huta Husor. Penduduk Huta Husor bernama Hurlang dikenai hukuman tiga bulan, karena menyediakan rumahnya untuk acara tersebut. Lihat, Laporan penelitian anggota Desan Penasehat Hindia Belanda tahun 1917. (Lihat Lance Castle, op cit., hal 101).

Dalam menghadapi masalah sosial yang timbul, sikap para pejabat penjajah Belanda nampak jelas memihak zending. Residen Tapanuli mengakui bahwa sikap netral di bidang agama akan berakibat gagal totalnya zending di daerah ini. Sebaliknya kemengangan kristen pasti terwujud, bila dibantu sepenuhnya oleh pemerintah Hindia Belanda. (Lihat: Surat Residen Tapanuli kepada Gubernur Jenderal Van Heutsz tanggal 31 Maret 1909. Ia menyatakan; Kita boleh memilih antara netral seratus persen terhadap agama dengan hasil pasti menurut matematika bahwa pekerjaan zending akan gagal total, dan lambat atau cepat seluruh daerah Batak akan masuk Islam. Atau membantu sepenuhnya kepada zending untuk menghindari propaganda Islam di daerah Batak. Dengan demikian kemenangan Kristen di daerah ini pasti terwujud. Andaikata pemerintah bersikap netral, akan berakibat seperti di daerah padang Sidempuan. Walaupun zending di sana cukup rajin di antara penduduk yang waktu itu masih pelebegu namun Islam ternyata menang di Mandailing, Angkola dan sebagian besar Sipirok. Justru pegawai-pegawai kita memegang politik nonintervensi (Koleksi G.A.J Hazeu, op. cit,. Hal 102).

Gubernur Jenderal kemudian memerintahkan agar pegawai pemerintah penjajah Belanda, kapanpun dan dimanapun tidak memihak penduduk muslim; sebaliknya secara moril harus membantu dan mendukung zending. Sementara itu, peraturan rahasia itu ditambah lagi dengan satu artikel yang berbunyi; "Orang Kristren (yakni pribumi sebagai objek yang dijajah) tidak harus melakukan kerja paksa pada hari Minggu." Lihat: M.C. Jongeling, op cit., hal 114-115.

Peran Sosial Politik Para Sufi

Para sufi Batak sangat berperan penting dalam membangunan sosial dan adat di Tanah Batak. Pengaruh mereka tidak hanya dapat dilihat dari geneologi parmalim dan tabas-tabas para tabib Batak tapi juga secara pembangunan ekonomi dan ilmu pengatahuan.

Para sufi dan ahli suluk yang memakai tongkat atau tungko yang khas tersebut selalu mengadakan perjalanan dan musafir ritual dari sebuah pusat peribadatan suluk ke yang lain di Tanah Batak. Selama perjalanan yang melewati beberapa huta tersebut mereka berhenti dan mendirikan musholla-musholla kecil yang pada akhirnya banyak dimanfaatkan oleh para paronan untuk berteduh dan bertransaksi antar sesamanya dan oleh para pengelana-pengelana tradisional Batak.

Musholla-musholla tersebut akhirnya menjadi partungkoan dan pusat-pusat perdagangan baru yang ramai dikunjungi oleh penduduk setempat. Para sufi-sufi pengelana tersebut banyak juga berperan dalam membangun infrastruktur di beberapa huta. Untuk memenuhi kebutuhan berwudhu mereka akan mencarikan mata air dan membangunkan pancuran yang permanen yang memudahkan para sufi untuk mandi dan berwudhu. Fasilitas tersebut akhirnya malah lebih banyak dimanfaatkan oleh penduduk setempat saat budaya untuk mandi lama-kelamaan mulai dipraktekkan.

Di Pancur Hauagong di Pakkat, misalnya masih terdapat sebuah batu yang sudah disemen yang fungsinya sebagai tempat persalinan para malim atau sufi dalam perjalanan. Tempat persalinan ini selain untuk tempat ganti pakaian saat mandi juga berfungsi untuk melakukan sholat-sholat sunnah karena ada sebuah garis kotak persegi panjang yang berfungsi untuk batas-batas suci sholat.

Persalinan ini sekarang masih digunakan tapi sudah tidak ada sufi yang mengunjungi termpat ini lagi. Diperkirakan di seluruh huta di Tanah Batak juga terdapat fasilitas serupa yang pada mulanya hanya untuk keperluan para sufi tapi para akhirnya banyak bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.

Paska keroposnya kekuasaan para sultan-sultan di Tanah Batak, seperti kesultanan dinasti Pohan/Pardosi di Barus, kesultanan dari dinasti Pasaribu di Fansur, Sultan Tanjung di Sorkam dan kesultanan Sibolga serta dinasti Raja Batak Sinambela di Bakkara, kehadiran organisasi-organisasi tarekat membawa angin segar bagi rakyat jajahan yang ingin melepaskan diri dari belenggu penjajah.

Peran para sultan dan raja dapat diisi oleh organisasi yang memang sangat menentang kehadiran Belanda tersebut. Pada saat itu pula organisasi suluk dan tarekat tersebut memperoleh momentum dan pengikut yang luar biasa. Kondisi seperti ini memungkinkan terjalinnya ikatan antara kepentingan rakyat jajahan dengan lembaga tarekat; keduanya memberikan muatan yang saling melengkapi.

Namun, Belanda tidak tinggal diam dengan situasi ini. Banyaknya aliran tarekat yang beroperasi di Tanah Batak membuat Belanda sangat mudah untuk melakukan politik pecah belah. Hal itu tampak saat krisis yang menimpa tarekat syattariah yang disebabkan oleh kritik para kaum revivalis ortodoks Makkah pada saat itu, karena praktik-praktiknya yang dianggap banyak menyimpang dari syariat. Perseteruan sesama Islam dapat pula dimanipulasi oleh pihak Belanda dan menjadi perang inter-etnis. Masuknya tarekat Qadiriyah dan Naqshabandiyah juga membuat perbendaharaan tarekat di tanah Batak semakin semerawut dan membuat Belanda dapat menguasai dengan mudah daerah jajahannya. Tarekat-tarekat di Tanah Batak menjadi sering terpecah dan tidak saling komunikasi satu sama lain. Antara tarekat syattariah yang sudah mengakar, tarekat made in Batak seperti mazhab Natal dan tarekat parmalim serta yang baru seperti Qadiriyah-Naqshanbandiyah dan lain-lain yang kecil-kecil.

Namun terlepas dari itu semua, hampir semua aliran tarekat tersebut mempunyai tujuan yang sama yakni mengusir penjajahan dan menghadirkan kemerdekaan bagi penduduk yang tersiksa. Lembaga-lembaga tarekat tersebut mengubah fungsi dan perannya dari “sistem sosial organik” ke sistem “religio-politik”, menggantikan peran-peran kesultanan dan raja-raja yang hilang kekuasaannya, sebagai aspirasi rakyat.

Melalui wadah tarekat, mereka membangun kesadaran kolektif atas dasar-dasar “sinkretik”, antara potensi yang dimiliki tarekat dan kebutuhan psikologis dan sosiologis rakyat yang terjajah. Ia telah menjadi katalisator dalam menggerakkan massa, bukan hanya dalam arti psikologis tapi juga dalam pemikiran politik, baik melalui konsep-konsep perlawanan maupun dalam menentukan sasaran-sasaran pencapaian.

Di sini, akhirnya lembaga tarekat bukan lagi dipandang sebagai lembaga yang melangit tapi telah membumi sejalan dengan adanya kebutuhan duniawi para pengikutnya. Hal yang sama juga muncul di daerah-daerah yang terjajah selama ini di belahan dunia.

Di Afrika pada abad yang sama (abad ke-19), muncul gerakan-gerakan sufi yang cukup beragam yang menjawab kolonialisme. Abdul Qadir di Aljazair dari tarekat Qadiriyah, Mahmud Ahmad dari Tarekat Sammani di Sudan Timur, Mahdi di Nilotik Sudan, Sanusiyyah di Libya, Saleh Idrisi di Somalia dan Ahmad al-Hiba di Maroko. Belum lagi di Asia Tengah, kelompok Naqshabandiyah mengguncang Tiongkok, Turkistan dan Yunnan, juga Afghanistan dan India.

Di Tanah Batak muncul tokoh-tokoh lokal yang tidak sempat terdokumentasi di setiap huta-huta yang melakukan perlawanan ke pihak penjajah. Namun di antara yang besar dan sempat diingat oleh penduduk adalah, Syeikh Sulayman al-Kholidy Hutapungkut, Syeikh Basyir atau Tuan Basyir yang sangat terkenal di masyarakat Toba, Syeikh Ibrahim Sitompul, Abdul Fatah Pagaran Sigatal dari Natal, Syeikh Baleo Natal dan lain-lain dari tarekat-terekat yang sejalan dengan aliran di dunia. Beberapa tarekat buatan Batak sendiri, yang bersifat sinkretis, tokohnya adalah Guru Somalaing dari tarekat Parmalim dan beberap tokoh dari pecahan tarekat ini seperti ‘Tarekat Borkat Allah’ Parhudamdam dan Parsitekka serta lain sebagainya.
Hampir bisa dikatakan bahwa imperialisme Eropa pada abad ke-19 selalu berhadapan dengan lembaga-lembaga Islam yang satu ini. Kenyataan-kenyataan historis seperti ini membuktikan bahwa kehidupan dunia sufi tidak selalu bergumul dengan kepasifan, kejumudan dan asketisme. Sayyed Hossein Nasr mengatakan, “Sufi is an active participant in a spiritula path and is intellectual in the real meaning of this word. Contemplation is sufism, the highest form activity, and in fact sufis has always integrated the active and contemplative lives. That is why many sufi have been teachers and scholars, artists and scientist, and even statesment and soldiers…”

Dalam membangun ideologi perjuangan, lembaga tarekat memanfaatkan ideologi-ideologi perjuangan setempat yang sebelumnya telah memiliki akar-akar yang telah berkembang di kalangan jajahan, yang biasa mereka gunakan untuk menentang kolonialisme, seperti nativisme, millaniarisme dan ratu adil.

Nativisme dan millaniarisme dapat dikukuhkan dalam doktrin wilayah harapan (the theater center, wilayah al-sufiyah), ratu adil yang banyak dianut di nusantara menempati konsep mahdiisme dalam tradisi tarekat.

Timbul tenggelamnya ideologi-ideologi gerakan tersebut biasanya berbarengan dengan tindakan kolonial yang makin massif dan ekspansif. Sehingga secara psikologis dan sosiologis, kehadiran dan kemunculannya merupakan suatu bentuk respon penolakan atau protes sosial dari kalangan rakyat jajahan. Pertumbuhan mahdiisme di kalangan Parmalim bahkan mengasosiasikannya dengan sosok Sisingamangaraja.

Akar-akar nativisme dan milleniarisme berasal dari pengalaman sejarah masyarakat yang sebelumnya merasakan kebebasan, kemerdekaan keharmonisan ketika berada di tengah-tengah penguasa pribumi (kerajaan atau kesultanan) Namun ketika kolonial berkuasa, keadaan dan kondisi kehidupan mereka secara total terbalik.

Kesadaran etnik yang bertalian dengan sistem politik tradisional-yang defenisi-defenisi kebangsaannya berasal dari tradisi lokal, identitas religius dan tekanan politik kolonial ini-telah memancing kemarahan dan memberikan lahan subur bagi berbagai pemikiran untuk membangun wilayah otonom bagi prasyarat identitas pribumi atau yang dikenal dengan istilah nasionalisme.

Seluruh ideologi gerakan yang dijelaskan di atas, secara esensial dan formal memperoleh justifikasi dari doktrin perlawanan terhadap si bottar mata penjajah yang dalam praktiknya dilengkapi dengan kekuatan-kekuatan magico-mysticism atau tabas-tabas dalam hamalimon.

Tradisi magis yang banyak dikembangkan lembaga sufi ini, secara antropologis dan psikologis, telah mengukuhkan para anggota gerakan, dan menumbuhkan perasaan bahwa gerakannya bersatu dengan kekuatan spiritual.

Mistik Karismatik

Bila kita bertanya kepada orang-orang Batak sekarang mengenai pemahaman mereka terhadap kaum parsolam atau malim atau kaum sufi, maka didapatlah bahwa banyak legenda atau cerita suhut-suhutan mengenai kegaiban para sosok orang-orang Batak suci tersebut.

Kisah mengenai Tuan Basyir misalnya bahkan disinggung dalam buku Pustaha Tumbaga Holing. Dikatakan dia dapat tetap berada di Tanah Batak namun setiap jum’at akan pergi ke Mekkah untuk menunaikan sholat jumat. Begitu keramatnya sosok sang sufi sehingga banyak orang yang menaruh hormat kepadanya.

Belum lagi tabas-tabas, azimat, kemampuan bathin yang katanya membuat mereka kebal dan dapat mengatasi siatusi dengan cepat. Kondisi yang istimewa tersebut membuat para sufi mendapat tempat yang istimewa di kalangan masyarakat Batak seperti halnya para datu dan lain sebagainya yang parbetengan. Bandingkan misalnya ini dengan kisah Sisingamangaraja XII, dengan ilmu hikmatnya, yang katanya dapat menghilang dari kepungan belanda setelah melafalkan zikir lailahaillallah dan hu..hu..hu… secara wirid.

Seorang tokoh di Pakkat yang datang secara berkala dari Manduamas dikabarkan dapat terbang dari Pakkat ke Barus lebih cepat dari mobil. Tokoh ini bernama Guru Jeto, seorang ulama yang sangat dihormati di kawasan tersebut.

Masih banyak lagi cerita mistis dan misteri di balik para sufi tersebut. Kemampuan magico-mystisism ini merupakan keistimewaan yang membuat banyak rakyat memihak para sufi dan malim dalam melawan kekuatan penjajah.

Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya dan al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal memperkirakan bahwa dunia mistis yang menggunakan kekuatan ruhani ini muncul dari orang-orang suci yang selalu mengolah kekuatan spiritualnya. Dunia sufi yang lekat dengan kontemplasi spiritual telah banyak menunjukkan hal ini. Memang, hanya orang-orang suci yang bisa memperoleh kekuatan ruhani semacam ini; mereka disebut ashhab al-ruhaniyah. Fenomena keterikatan tarekat dengan dunia magico-mystisism adalah suatu fenomena yang biasa.

Dari kontemplasi spiritual, sufi-sufi besar menggali sabda-sabda ilahi-melalui riyadhah dan kasf-telah melahirkan beberapa rumusan kekuatan ruhaniyah (mistis) dari firman-firman Tuhan.

Para ulama hikmah menjelaskan, kekuatan magico-mysticism terbagi dua: magico mysticism dalam bentuk doa yang selalu diwiridkan dan dalam tradisi animisme disebut sebagai mantra, ada juga yang ditulis pada benda-benda khusus. Kedua bentuk ini sangat dominan dalam dua tarekat dan sampai sekarang masih diwarisi orang-orang yang memiliki keistimewaan dan kekebalan dalam masyarakat Batak.

Mantra atau wirid ini sering disebut dengan istilah hizb. Di antaranya adalah hizb al-khairat, hizb rifai’yah, syadziliyah, hizb al-bahr dan lain sebagainya. Kembali ke situasi pada abad ke-20 mengapa magico-mysticism begitu dominan dalam menguatkan gerakan perlawanan terhadap kaum kolonialis, tentunya bukan hanya karena otoritas mistik ini lahir dari sufi-sufi besar, tetapi juga karena kepentingan-kepentingan psikologis masyarakat tradisional yang menyandarkan perlindungan pada kekuatan supernatural untuk menghadapi musuh yang sangat berat.

Tinjaun psikologis Michael Adas nampaknya bisa membantu menafsirkan hal tersebut, dia mengatakan:

“Jimat-jimat yang digunakan oleh para pendukung kegiatan dalam studi ini dirancang untuk menetralkan keunggulan teknologi dan organisasi musuh Eropa mereka. Melalui jimat-jimat ini, para pemimpin kenabian (syeikh-syeikh tarekat) berusaha untuk memindahkan perlindungan magis kepada para pendukung mereka untuk meyakinkan mereka akan kekebalan dalam peperangan yang akan terjadi.”

Dapat dibayangkan bagaimana masyarakat tradisional berhadapan dengan mesin-mesin pembunuh kolonial Belanda yang berteknologi tinggi, sementara mereka tidak memiliki atau belum memahami sama sekali. Tentunya hanya kekuatan mental dan luapan emosional yang selalu diibakar oleh para pemimpin anti-penjajahan yang bisa mengatasi keberanian untuk mengadakan revolusi fisik yang menuntut banyak pengorbanan ini. Di sinilah Islam mengajarkan bahwa keyakinan adalah induk segala tindakan.

Teori militer yang rasional menyatakan bahwa antara dua kekuatan yang sangat tidak seimbang, tidak memungkinkan bagi para pendukung revolusi berada di belakangnya. Tetapi di tangan para malim dan sufi Batak dan juga personalitas Sisingamangaraja XII, gagasan untuk mengusir penindas si bottar mata dan magico mysticism telah menjadi pucuk senjata yang paling ampuh dalam menentang Belanda.

Upacara-upacara ritual yang sering diadakan oleh para syeikh tarekat dan raja-raja Batak, pemimpin anti-penjajahan menjelang penyerangan terhadap Belanda bukan hanya bermaksud untuk mengkoordinir pengikut dalam gerakan, tetapi juga bermaksud untuk mengukur kekuatan magis pengikut yang terlatih. Ritus magis ini secara formulatif verbal-yang di dalamnya diadakan sumpah magis dan pembagian azimat-azimat-telah menimbulkan efek psikologis yang mengerikan bagi penjajah.