Pendekar Hukum Jalan Lurus
Selama bergelut di dunia hukum, cap hakim kontroversial selalu dialamatkan kepada Bismar, karena selalu tampil berbeda di garda terdepan jalan lurus untuk memperjuangkan tegaknya keadilan. Sikapnya yang tak mau kompromi di dalam menegakkan keadilan acapkali mendapat reaksi keras dari kalangan praktisi hukum. Bismar memegang prinsip: “Keadilan nilainya jauh lebih tinggi daripada hukum. Hukum hanyalah sarana untuk menegakkan keadilan.
Bagi Bismar keadilan hanya bisa ditemukan dalam hati nurani hakim. Kalau seorang hakim memiliki nurani keadilan, maka dia akan mampu melahirkan keputusan yang adil. Bismar memberi contoh; ada seorang ayah, didakwa mencuri, tetapi dia melakukan itu untuk memberi makan anak-anaknya yang menangis kelaparan. “Apakah dia bersalah? Dia memang bersalah karena telah mencuri.” Tetapi kalau dilihat dari motifnya: “demi menghidupi anak-anaknya”, yang haram saja susah diperoleh apalagi yang halal. Kata Bismar, si ayah tersebut bisa dibebaskan dari hukuman. Tetapi kebanyakan hakim tidak melakukannya. Mereka memandang secara apriori, “mencuri adalah perbuatan melawan hukum, tidak peduli apapun alasannya.”
Menurut Bismar masih banyak putusan hakim yang belum melegakan masyarakat. Persoalannya, mereka tidak konsekuen dengan konsep keadilan. Karena itu, Bismar mengingatkan lagi, hukum hanyalah sarana. “Masa sarana kita pakai untuk menegakkan keadilan. Itu tidak bisa,” kata Bismar.
Bismar pernah menjatuhkan hukuman yang menggemparkan, ramai diperdebatkan publik. Saat itu (1976), ketika menjabat Ketua PN Jakarta Timur, Bismar menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa Albert Togas. Dari situlah mencuat polemik tentang hukuman mati. Kasusnya, Albert Togas, karyawan PT Bogasari yang di PHK, membunuh Nurdin Kotto, staf ahli perusahaan tersebut.
Padahal selama menganggur, Albert ditolong oleh Nurdin. Namun Albert membunuh Nurdin secara keji. Mayatnya dipotong-potong, dagingnya dicincang, dicuci bersih, lantas dimasukkan ke dalam plastik. Setelah itu, potongan mayatnya dibuang ke sebuah kali di Tanjung Priok. Albert membalas air susu dengan air tuba, kebaikan dibalas dengan kejahatan. “Kekejaman itulah yang saya tidak ragu menjatuhkan hukuman mati,” kata Bismar.
Namun Bismar, atas putusannya, menerima serangan bertubi-tubi dari orang-orang yang menentang hukuman mati. Dia dicap tidak Pancasilais kare-na dituding menjatuhkan hukuman yang tidak patut dilakukan oleh seo-rang hakim, merampas nyawa orang. Sedangkan yang berhak melakukan itu hanya Tuhan. Bismar punya alasan sendiri, boleh saja berbeda pendapat. Tetapi, sebagai seorang muslim, “saya katakan, hukuman mati itu sah-sah saja. Sebab, ada ayat membenarkan hukuman mati.”
Juga putusan kontroversi lainnya menyangkut kasus pemerkosaan yang menimpa keluarga Acan di Bekasi. Bismar mengusulkan agar hakim yang mengadili kasus itu menjatuhkan hukuman mati kepada pata pelakunya yang lebih keji dari binatang. Menurut Bismar ketentuan hukum positif yang maksimal menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara bagi terdakwa kasus pemerkosaan terlalu ringan.
Kata Bismar: “Kalau dalihnya tidak Pancasilais, Pancasila yang mana?” Pancasila sejatinya sesuai dengan iman Islam. Berbeda dengan umat Kristiani yang Kitab Perjanjian Baru-nya tidak membolehkan hukuman mati. Tapi dalam Kitab Perjanjian Lama hukuman mati dibolehkan. Jadi, sebetulnya tidak ada pertentangan di antara keduanya.
Keputusan kontroversial lain, hukuman pidana bagi pengedar ganja ketika dia menjabat Ketua Pengadilan Tinggi di Medan. Seorang terdakwa yang dituntut jaksa 10 bulan penjara, Bismar melipatgandakan menjadi 10 tahun. Yang 15 bulan menjadi 15 tahun. Karena itu, dia sangat prihatin dengan keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman hanya 4 tahun penjara kepada ratu ekstasi Zarima. Padahal, Zarima tertangkap membawa 29 ribu pil setan. Apakah hakim, itu tidak mengetahui dan merasakan akibat dari perbuatan Zarima. Jika Bismar yang jadi hakimnya, Zarima layak dihukum mati. Mestinya bikin shock therapy buat pengedar narkoba.
Pada tahun 1974, Bismar juga membuat putusan yang menghebohkan tentang perkawinan yang tidak berdasarkan hukum perkawinan. Kasusnya menimpa pasangan yang beragama Katolik. Tapi, dilaksanakan secara agama (tidak melalui catatan sipil). Bagi Bismar, perkawinan itu sah. Mengapa? Sebab dia melihat sosok yang meresmikan perkawinan itu membawa nama Tuhan. Seorang pastur. Masa pastur mempermainkan nama Tuhan.
Masalah ini sempat membuat ribut kalangan praktisi hukum. Soalnya dia dinilai telah merusak kepastian hukum. Karena sudah ada ketentuan bahwa setiap perkawinan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan undang-undang tidak sah. Namun Bismar merasa bahagia karena sebagai muslim bisa memberikan rasa keadilan kepada orang yang tidak seiman dengannya.
Ubah Manusianya
Sebenarnya, menurut Bismar, mate-ri dan sistem hukum yang berlaku sekarang tidak perlu diubah. Sudah bagus. Yang perlu diubah adalah manusianya. Dalam peradilan di Indonesia telah dengan tegas disebut-kan bahwa dasar seorang hakim dalam mengambil keputusan: “Demi Keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Indonesia sudah mempunyai irah-irah (baca: sumpah) yang sesuai dengan sila pertama Pancasila. Baginya, irah-irah harus dihayati dan dipahami. Bukan Cuma di bibir (lips service), kenyataan tidak.
Bismar merujuk pada firman Tuhan (dalam Al Quran): “Jangan perjualbelikan ayat-Ku dengan harga yang murah.” Dan, irah-irah atas nama Tuhan sekarang sudah diperjualbelikan. Bismar menangis kalau ada penyimpangan keadilan dengan mengatasnamakan Tuhan.
Bismar prihatin dengan merosotnya wibawa penegak hukum di mata masyarakat saat ini. Kalau mencari bukti-buktinya mudah saja. Contoh-nya, banyak kasus pelanggaran hu-kum yang masuk dark number. Tapi dia merasa risih dengan akronim-akronim yang berkembang di masyara-kat berkaitan dengan jabatan penegak hukum. Misalnya, “Polisi” (baca: main amplop), “Jaksa” (Tukang Injak dan Tukang Paksa), “Hakim” (Hak si Kim, baca : kepentingan orang Cina, atau Hubungi Aku Kalau Ingin Menang). Mestinya ungkapan-ungkapan itu membuat aparat penegak hukum mawas diri. Bismar mengajak para penegak hukum, kalau itu benar, beristighfarlah, jangan diteruskan
Selama bergelut di dunia hukum, cap hakim kontroversial selalu dialamatkan kepada Bismar, karena selalu tampil berbeda di garda terdepan jalan lurus untuk memperjuangkan tegaknya keadilan. Sikapnya yang tak mau kompromi di dalam menegakkan keadilan acapkali mendapat reaksi keras dari kalangan praktisi hukum. Bismar memegang prinsip: “Keadilan nilainya jauh lebih tinggi daripada hukum. Hukum hanyalah sarana untuk menegakkan keadilan.
Bagi Bismar keadilan hanya bisa ditemukan dalam hati nurani hakim. Kalau seorang hakim memiliki nurani keadilan, maka dia akan mampu melahirkan keputusan yang adil. Bismar memberi contoh; ada seorang ayah, didakwa mencuri, tetapi dia melakukan itu untuk memberi makan anak-anaknya yang menangis kelaparan. “Apakah dia bersalah? Dia memang bersalah karena telah mencuri.” Tetapi kalau dilihat dari motifnya: “demi menghidupi anak-anaknya”, yang haram saja susah diperoleh apalagi yang halal. Kata Bismar, si ayah tersebut bisa dibebaskan dari hukuman. Tetapi kebanyakan hakim tidak melakukannya. Mereka memandang secara apriori, “mencuri adalah perbuatan melawan hukum, tidak peduli apapun alasannya.”
Menurut Bismar masih banyak putusan hakim yang belum melegakan masyarakat. Persoalannya, mereka tidak konsekuen dengan konsep keadilan. Karena itu, Bismar mengingatkan lagi, hukum hanyalah sarana. “Masa sarana kita pakai untuk menegakkan keadilan. Itu tidak bisa,” kata Bismar.
Bismar pernah menjatuhkan hukuman yang menggemparkan, ramai diperdebatkan publik. Saat itu (1976), ketika menjabat Ketua PN Jakarta Timur, Bismar menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa Albert Togas. Dari situlah mencuat polemik tentang hukuman mati. Kasusnya, Albert Togas, karyawan PT Bogasari yang di PHK, membunuh Nurdin Kotto, staf ahli perusahaan tersebut.
Padahal selama menganggur, Albert ditolong oleh Nurdin. Namun Albert membunuh Nurdin secara keji. Mayatnya dipotong-potong, dagingnya dicincang, dicuci bersih, lantas dimasukkan ke dalam plastik. Setelah itu, potongan mayatnya dibuang ke sebuah kali di Tanjung Priok. Albert membalas air susu dengan air tuba, kebaikan dibalas dengan kejahatan. “Kekejaman itulah yang saya tidak ragu menjatuhkan hukuman mati,” kata Bismar.
Namun Bismar, atas putusannya, menerima serangan bertubi-tubi dari orang-orang yang menentang hukuman mati. Dia dicap tidak Pancasilais kare-na dituding menjatuhkan hukuman yang tidak patut dilakukan oleh seo-rang hakim, merampas nyawa orang. Sedangkan yang berhak melakukan itu hanya Tuhan. Bismar punya alasan sendiri, boleh saja berbeda pendapat. Tetapi, sebagai seorang muslim, “saya katakan, hukuman mati itu sah-sah saja. Sebab, ada ayat membenarkan hukuman mati.”
Juga putusan kontroversi lainnya menyangkut kasus pemerkosaan yang menimpa keluarga Acan di Bekasi. Bismar mengusulkan agar hakim yang mengadili kasus itu menjatuhkan hukuman mati kepada pata pelakunya yang lebih keji dari binatang. Menurut Bismar ketentuan hukum positif yang maksimal menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara bagi terdakwa kasus pemerkosaan terlalu ringan.
Kata Bismar: “Kalau dalihnya tidak Pancasilais, Pancasila yang mana?” Pancasila sejatinya sesuai dengan iman Islam. Berbeda dengan umat Kristiani yang Kitab Perjanjian Baru-nya tidak membolehkan hukuman mati. Tapi dalam Kitab Perjanjian Lama hukuman mati dibolehkan. Jadi, sebetulnya tidak ada pertentangan di antara keduanya.
Keputusan kontroversial lain, hukuman pidana bagi pengedar ganja ketika dia menjabat Ketua Pengadilan Tinggi di Medan. Seorang terdakwa yang dituntut jaksa 10 bulan penjara, Bismar melipatgandakan menjadi 10 tahun. Yang 15 bulan menjadi 15 tahun. Karena itu, dia sangat prihatin dengan keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman hanya 4 tahun penjara kepada ratu ekstasi Zarima. Padahal, Zarima tertangkap membawa 29 ribu pil setan. Apakah hakim, itu tidak mengetahui dan merasakan akibat dari perbuatan Zarima. Jika Bismar yang jadi hakimnya, Zarima layak dihukum mati. Mestinya bikin shock therapy buat pengedar narkoba.
Pada tahun 1974, Bismar juga membuat putusan yang menghebohkan tentang perkawinan yang tidak berdasarkan hukum perkawinan. Kasusnya menimpa pasangan yang beragama Katolik. Tapi, dilaksanakan secara agama (tidak melalui catatan sipil). Bagi Bismar, perkawinan itu sah. Mengapa? Sebab dia melihat sosok yang meresmikan perkawinan itu membawa nama Tuhan. Seorang pastur. Masa pastur mempermainkan nama Tuhan.
Masalah ini sempat membuat ribut kalangan praktisi hukum. Soalnya dia dinilai telah merusak kepastian hukum. Karena sudah ada ketentuan bahwa setiap perkawinan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan undang-undang tidak sah. Namun Bismar merasa bahagia karena sebagai muslim bisa memberikan rasa keadilan kepada orang yang tidak seiman dengannya.
Ubah Manusianya
Sebenarnya, menurut Bismar, mate-ri dan sistem hukum yang berlaku sekarang tidak perlu diubah. Sudah bagus. Yang perlu diubah adalah manusianya. Dalam peradilan di Indonesia telah dengan tegas disebut-kan bahwa dasar seorang hakim dalam mengambil keputusan: “Demi Keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Indonesia sudah mempunyai irah-irah (baca: sumpah) yang sesuai dengan sila pertama Pancasila. Baginya, irah-irah harus dihayati dan dipahami. Bukan Cuma di bibir (lips service), kenyataan tidak.
Bismar merujuk pada firman Tuhan (dalam Al Quran): “Jangan perjualbelikan ayat-Ku dengan harga yang murah.” Dan, irah-irah atas nama Tuhan sekarang sudah diperjualbelikan. Bismar menangis kalau ada penyimpangan keadilan dengan mengatasnamakan Tuhan.
Bismar prihatin dengan merosotnya wibawa penegak hukum di mata masyarakat saat ini. Kalau mencari bukti-buktinya mudah saja. Contoh-nya, banyak kasus pelanggaran hu-kum yang masuk dark number. Tapi dia merasa risih dengan akronim-akronim yang berkembang di masyara-kat berkaitan dengan jabatan penegak hukum. Misalnya, “Polisi” (baca: main amplop), “Jaksa” (Tukang Injak dan Tukang Paksa), “Hakim” (Hak si Kim, baca : kepentingan orang Cina, atau Hubungi Aku Kalau Ingin Menang). Mestinya ungkapan-ungkapan itu membuat aparat penegak hukum mawas diri. Bismar mengajak para penegak hukum, kalau itu benar, beristighfarlah, jangan diteruskan
loading...