Berjudul ”Orang Batak Pergi Haji”
Baharudin Aritonang Luncurkan Buku Haji
JAKARTA, (PR).-
Anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI Baharudin Aritonang meluncurkan buku Orang Batak Naik Haji. Buku yang ditulis dengan mengambil inspirasi dari karya sastrawan Danarto dengan judul ”Orang Jawa Naik Haji” ini menceritakan perjalanan serta renungannya ketika menunaikan ibadah haji tahun 2002.
Buku yang diluncurkan di Press Room Gedung DPR/MPR Jakarta ini melukiskan pengalaman penulis yang disertai analisis dan fakta. Buku tersebut terkesan banyak analisisnya. Ini tidak terlepas dari profesi sebagai seorang politisi bahwa Baharuddin Aritonang adalah anggota DPR dari FPG.
Asnawi Latif yang membedah buku ini juga menyebut bahwa dalam uraian-uraian secara analisis juga disertai guyonan-guyonan.
Dalam buku ini Aritonang sempat berkelakar, asal nama ”onta”, misalnya. Satu ketika ada warga kampung Silalas Medan yang pergi haji. Ketika pulang ditanya orang kampungnya. ”Apa tandanya kalau Saudara sudah ke tanah suci?” tanya warga kampung. ”Saya bertemu binatang besar, bisa ditunggangi dan banyak sekali minum air,” jawabnya. ”Apa nama binatang itu”, dia menjawab, ”Ontahlah”, maksudnya entahlah, tidak tahu nama binatang itu. Akhirnya orang kampung tersebut menyebut binatang besar itu ”onta”.
Dalam buku setebal 216 halaman itu, Aritonang yang juga anggota Komisi IX DPR dan Badan Pekerja MPR itu menceritakan secara detail semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji yang dilaksanakannya.
Ia mengakui bahwa gagasan menulis buku tersebut terinspirasi dari buku serupa yang ditulis oleh Danarto dengan judul Orang Jawa Naik Haji. ”Sejak kuliah di UGM dulu, saya memang terkesan oleh karya Danarto itu. Dalam hati saya berdoa semoga suatu saat saya bisa ibadah haji dan akan menulis buku dengan judul Orang Batak Naik Haji,” katanya.
Aritonang menambahkan, haji bukanlah sekadar ibadah semata, tetapi banyak aspek yang melingkupi kegiatan tersebut.
Sementara itu, menanggapi buku karya Baharudin Aritonang itu, anggota DPR K.H. Asnawi Latif meminta pemerintah terus meningkatkan kualitas para calon/jemaah haji Indonesia yang akan melaksanakan ibadah haji dan menggunakan segala fasilitas.
”Para jemaah yang berasal dari pedesaan umumnya banyak yang tidak bisa menggunakan sejumlah fasilitas, terutama ketika berada dalam pesat terbang,” katanya.
Taraf pendidikan para calon jemaah haji masih rendah atau bahkan masih ada yang tidak sekolah. Oleh karena itu, jemaah bersangkutan seringkali mengalami kesulitan dalam menggunakan fasilitas yang berkualitas teknologi canggih.
”Pengalaman naik pesawat terbang, ‘buang air’ bukan di kloset. Hal itu terjadi karena ketidaktahuan. Ini menyangkut tingkat pendidikan,” tutur Asnawi Latif.
Ada pengalaman yang aneh lagi, kata Asnawi Latif. Adik iparnya naik haji dengan biro peralanan swasta menggunakan paspor hijau dan dia cuma membawa tas. Rupanya dia tidak paham cara menggunakan fasilitas yang ada di pesawat dan di pelabuhan udara King Abdul Aziz.
Ada temannya yang masih menunggu barang (koper), kata Asnawi. Di situ ada ban berjalan. Dia mengira semua tas ditaruh di ban berjalan tersebut sehingga tas yang ditenteng juga ditaruh di ban berjalan. Berputarlah tas itu mengikuti ban berjalan.
”Banyak hal-hal seperti itu yang parlu dibenahi. Kita akan mengalami kesulitan baik ketika di tanah air maupun ketika sampai di tanah suci. Ini kritik pada calon jemaah karena banyak jemaah kita yang belum berkualitas,” ujarnya.
Soal paspor haji, menurut Asnawi Latif, dulunya dia pernah mengusulkan kepada Menteri Agama agar diperbaiki. Alasannya, satu-satunya di dunia orang yang naik haji yang memakai paspor khusus haji hanyalah Indonesia.
”Saya sudah pernah usul ketika masuk dalam Tim UU Keimigrasian, yang perlu diubah. Tetapi, saya dimarahi oleh Menag pada waktu itu, Munawir Sjadzali,” jelasnya.
Dikatakan, adanya paspor haji sudah dimulai sejak zaman Belanda, yang disebut pas haji. Ini dimaksudkan agar para pemuda Islam itu tidak bisa ke mana-mana. Itu ada unsur proteksi bepergiannya pemuda Islam Indonesia. Paspor hijau itu hanya dipakai sekali jalan.
”Ini ditiru lagi dan kita malah melanjutkan peninggalan zaman penjajah. Itu perlu dibenahi, apa lagi pemberangkatan haji supaya diswastakan. Jangan lagi Departemen Agama menjadi travel biro, perjalanan haji,” tuturnya.
Baharudin Aritonang Luncurkan Buku Haji
JAKARTA, (PR).-
Anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI Baharudin Aritonang meluncurkan buku Orang Batak Naik Haji. Buku yang ditulis dengan mengambil inspirasi dari karya sastrawan Danarto dengan judul ”Orang Jawa Naik Haji” ini menceritakan perjalanan serta renungannya ketika menunaikan ibadah haji tahun 2002.
Buku yang diluncurkan di Press Room Gedung DPR/MPR Jakarta ini melukiskan pengalaman penulis yang disertai analisis dan fakta. Buku tersebut terkesan banyak analisisnya. Ini tidak terlepas dari profesi sebagai seorang politisi bahwa Baharuddin Aritonang adalah anggota DPR dari FPG.
Asnawi Latif yang membedah buku ini juga menyebut bahwa dalam uraian-uraian secara analisis juga disertai guyonan-guyonan.
Dalam buku ini Aritonang sempat berkelakar, asal nama ”onta”, misalnya. Satu ketika ada warga kampung Silalas Medan yang pergi haji. Ketika pulang ditanya orang kampungnya. ”Apa tandanya kalau Saudara sudah ke tanah suci?” tanya warga kampung. ”Saya bertemu binatang besar, bisa ditunggangi dan banyak sekali minum air,” jawabnya. ”Apa nama binatang itu”, dia menjawab, ”Ontahlah”, maksudnya entahlah, tidak tahu nama binatang itu. Akhirnya orang kampung tersebut menyebut binatang besar itu ”onta”.
Dalam buku setebal 216 halaman itu, Aritonang yang juga anggota Komisi IX DPR dan Badan Pekerja MPR itu menceritakan secara detail semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji yang dilaksanakannya.
Ia mengakui bahwa gagasan menulis buku tersebut terinspirasi dari buku serupa yang ditulis oleh Danarto dengan judul Orang Jawa Naik Haji. ”Sejak kuliah di UGM dulu, saya memang terkesan oleh karya Danarto itu. Dalam hati saya berdoa semoga suatu saat saya bisa ibadah haji dan akan menulis buku dengan judul Orang Batak Naik Haji,” katanya.
Aritonang menambahkan, haji bukanlah sekadar ibadah semata, tetapi banyak aspek yang melingkupi kegiatan tersebut.
Sementara itu, menanggapi buku karya Baharudin Aritonang itu, anggota DPR K.H. Asnawi Latif meminta pemerintah terus meningkatkan kualitas para calon/jemaah haji Indonesia yang akan melaksanakan ibadah haji dan menggunakan segala fasilitas.
”Para jemaah yang berasal dari pedesaan umumnya banyak yang tidak bisa menggunakan sejumlah fasilitas, terutama ketika berada dalam pesat terbang,” katanya.
Taraf pendidikan para calon jemaah haji masih rendah atau bahkan masih ada yang tidak sekolah. Oleh karena itu, jemaah bersangkutan seringkali mengalami kesulitan dalam menggunakan fasilitas yang berkualitas teknologi canggih.
”Pengalaman naik pesawat terbang, ‘buang air’ bukan di kloset. Hal itu terjadi karena ketidaktahuan. Ini menyangkut tingkat pendidikan,” tutur Asnawi Latif.
Ada pengalaman yang aneh lagi, kata Asnawi Latif. Adik iparnya naik haji dengan biro peralanan swasta menggunakan paspor hijau dan dia cuma membawa tas. Rupanya dia tidak paham cara menggunakan fasilitas yang ada di pesawat dan di pelabuhan udara King Abdul Aziz.
Ada temannya yang masih menunggu barang (koper), kata Asnawi. Di situ ada ban berjalan. Dia mengira semua tas ditaruh di ban berjalan tersebut sehingga tas yang ditenteng juga ditaruh di ban berjalan. Berputarlah tas itu mengikuti ban berjalan.
”Banyak hal-hal seperti itu yang parlu dibenahi. Kita akan mengalami kesulitan baik ketika di tanah air maupun ketika sampai di tanah suci. Ini kritik pada calon jemaah karena banyak jemaah kita yang belum berkualitas,” ujarnya.
Soal paspor haji, menurut Asnawi Latif, dulunya dia pernah mengusulkan kepada Menteri Agama agar diperbaiki. Alasannya, satu-satunya di dunia orang yang naik haji yang memakai paspor khusus haji hanyalah Indonesia.
”Saya sudah pernah usul ketika masuk dalam Tim UU Keimigrasian, yang perlu diubah. Tetapi, saya dimarahi oleh Menag pada waktu itu, Munawir Sjadzali,” jelasnya.
Dikatakan, adanya paspor haji sudah dimulai sejak zaman Belanda, yang disebut pas haji. Ini dimaksudkan agar para pemuda Islam itu tidak bisa ke mana-mana. Itu ada unsur proteksi bepergiannya pemuda Islam Indonesia. Paspor hijau itu hanya dipakai sekali jalan.
”Ini ditiru lagi dan kita malah melanjutkan peninggalan zaman penjajah. Itu perlu dibenahi, apa lagi pemberangkatan haji supaya diswastakan. Jangan lagi Departemen Agama menjadi travel biro, perjalanan haji,” tuturnya.
loading...