Wednesday, January 31, 2007

Tony

KH Zainul Arifin Pohan: Anak Barus Mantan Wakil Perdana Menteri RI

 


Walaupun dikenal sebagai organisasi tradisional, bukan berarti dalam NU tidak ada pembaruan, justeru tampilnya NU sendiri sebuah gerakan pembaruan di lingkungan kaum santri. Organisasi sendiri adalah fenomena modern, karena itu di dalamnya secara otomatif akan mendorong terjadinya berbagai perubahan, dan motor gerakan pembaruan yang sangat menonjol di samping KH Wahid Hasyim adalah Kiai Muhammad Dahlan. Kalau Kiai Wahid membolehkan hakim wanita, maka dalam NU Kiai Dahlan mempelopori berdirinya organisasi Wanita NU yakni Muslimat, bahkan dengan kegigihannya akhirnya bisa meyakinkan Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah yang akhirnya didukung seluruh Nahdliyin.

Ketika menjabat Menteri Agama (1967-1971), Kiai Dahlan yang memelopori musyawarah antarumat beragama untuk menjaga kerukunan sesamanya. Ia pula yang berjasa mengangkat ribuan guru-guru agama melalui Ujian Guru Agama (UGA) paska peristiwa 1965 sebagai konsekuensi semakin disadarinya bahwa berkembangnya ajaran komunisme akibat kurangnya pelajaran agama di sekolah-sekolah. Putera Pasuruan ini pula yang memprakarsai penyelenggaraan Musabaqoh Tilawatil Qur’an tingkat Nasional, sekaligus memelopori berdirinya Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an atau PTIQ.

Namun demikian Kiai Dahlan dengan gigih menolak kehadiran organisasi GUPPI, yang diketahui sebagai siasat pemerintah ketika itu untuk menggerogoti kekuatan Nahdlatul Ulama dari pusat sampai daerah-daerah. Ketegasan sikapnya itu, yang membuat ia tanpa beban dan rela dicopot sebagai menteri agama.

Asal Usul

Muhammad Dahlan adalah putera ketiga dari lima bersaudara, lahir pada tanggal 2 Juni 1909, bertepatan dengan 14 Jumadil Ula 1327 Hijriah di desa Mandaran Rejo, Kotamadya Pasuruan, Jawa Timur. Desa itu terletak di pesisir pantai, kurang lebih berjarak tiga kilometer dari kota Pasuruan. Mayoritas warga desa yang bermata pencarian sebagai nelayan penangkap ikan di lepas pantai dan petani tambak, menjadikan lahan yang terhampar di desa itu sebagian besar berupa petak-petak tambak udang dan ikan bandeng. Pengelolaan tambak dilakukan penduduk secara tradisional, sekedar memanfaatkan pasang-surutnya aliran sungai yang melintasi desa tersebut yang bermuara di selat Madura.

Di sungai itulah Dahlan kecil bersama teman-teman sebayanya mengadu kemahiran berenang melawan arus sungai, atau adu cepat menemukan batu yang dilemparkan ke dalam sungai.

Belum lagi menginjak usia belasan tahun, Dahlan telah diberikan tanggung jawab menjaga beberapa petak tambak milik kakeknya. Biasanya sebulan menjelang tambak dipanen, Dahlan harus sering menunggui tambak di malam hari. Kala itu, kerap terjadi pencurian di malam hari pada tambak yang hendak dipanen.

Ayah-ibu Dahlan bernama Abdul Hamid dan Chamsiyah, termasuk orangtua yang sangat disiplin dalam menanamkan kesadaran kepada putera-puterinya agar taat menjalankan ajaran-ajaran agama. Dari lima bersaudara hasil pernikahan pasangan Abdul Hamid dan Chamsiyah ini, dua diantaranya laki-laki, yaitu Muhammad Hasyim sebagai putera tertua dan Muhammad Dahlan sebagai putera ketiga.

Disamping bimbingan dan arahan yag diterima dari kedua orangtuanya, dasar-dasar pendidikan yang di kemudian hari benyak mewarnai corak kepribadian Dahlan didapatnya dari Pesantren Siwalan Panji di Sidoarjo dan Pesantren Tebu Ireng di Jombang. Di kedua pesantren ini pula ia ketemu dengan tokoh besar NU lainnya seperti KH. A. Wahid Hasyim dan KH. Masykur. Ia memanfaatkan sebagian masa kanak-kanak dan remajanya menekuni pengetahuan keagamaan dan menjalani praktek belajar bermasyarakat. Makanya ketika masih dalam usia belasan tahun, Dahlan telah mengenyam pendidikan di Makkah, Saudi Arabia. Bersama kakak sulungnya, dengan rajin ia mengikuti kelompok-kelompok pengajian sebagaimana para ulama terdahulu yang mengukti pengajian di sekitar halaman Masjid Al-Harram Makkah. Di kota suci itu ia belajar berbagai ilmu keagamaan, dan mengenal dunia luar secara umum yang kelak menjadi bekal dalam membangun negerinya terutama ketika berkiprah di NU.

Membentuk NU Bangil

Tampilnya Dahlan di gelanggang pergerakan dimulai tahun 1930. Dialah tokoh yang merintis terbentuknya organisasi NU cabang Bangil, dan sekaligus menjadi ketuanya. Lima tahun kemudian ia terpilih menjadi ketua NU cabang Pasuruan. Berkat kepemimpinan dan integritas kepribadian yang dimilikinya, pada tahun 1936 ia sedah dipercayai untuk menjadi Konsul NU Daerah (wilayah) Jawa Timur yang berkedudukan di Pasuruan.

Corak kepemimpinan yang diperlihatkan Dahlan menunjukkan bahwa ia adalah seorang orgnisator yang ulet dan mahir berargumentasi, sehingga dapat meyakinkan lawan bicara. Salah satu contoh yang menunjukkan hal itu dibuktikan saat ia menghadiri kongres NU XIII di Menes, Banten pada tanggal 11-16 Juni 1938. Kala itu, salah satu cara yang ditempuh cabang NU dalam menghimpun dana bagi kepentingan jalannya roda organisasi adalah mengedarkan lis derma kepada beberapa perorangan, baik warga NU maupun simpatisannya.

Dalam majelis (sidang) IV kongres NU di Menes itu, Dahlan selaku Konsul NU Daerah Jawa Timur mengajukan usul agar cabang-cabang yang menjalankan lis derma ke cabang lainnya itu juga menyertakan orangnya sebagai kurir yang membawa lis tersebut, dan langsung menemui orang-orang yang hendak dimintai dermanya. Bagi Dahlan, usul tersebut perlu ia ajukan mengingat banyak cabang yang mengirimkan lis dermanya tanpa disertai keterangan yang cukup. Di sisi lain, diantara cabang-cabang yang menerima lis tersebut banyak yang waktunya disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang tidak kalah penting. Maka tidak heranlah jika kebanyakan dari lis-lis tersebut tidak dapat diurus dengan baik.

Terhadap usulan Dahlan ini, sejumlah cabang menolak dengan anggapan bila usulan itu dijalankan, nantinya akan mempersempit ruang gerak cabang. Tidak kurang dari KH. Zainul Arifin (tokoh NU yang pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri), sebagai pimpinan sidang kala itu mengatakan bahwa jika sekiranya usul itu diterima kongres, maka dikhawatirkan sifat tolong-menolong diantara cabang yang satu dengan lainnya akan rusak dan hilang. Namun Dahlan tetap berupaya mempertahankan pendapatnya. Dengan berbagai argumentasi yang dikemukakan, ia bersikeras agar usulannya bisa diterima. Saat dilakukan pemungutan suara, terbuktilah bahwa Dahlan berhasil meyakinkan peserta kongres.

Pendorong Berdirinya Muslimat NU

Sejarah mencatat bahwa kongres NU di Menes tahun 1938 itu merupakan forum yang memiliki arti tersendiri bagi proses katalisis terbentuknya organisasi Muslimat NU. Sejak kelahirannya di tahun 1926, NU adalah organisasi yang anggotanya hanyalah kaum laki-laki belaka. Para ulama NU saat itu masih berpendapat bahwa wanita belum masanya aktif di organisasi. Anggapan bahwa ruang gerak wanita cukuplah di rumah saja masih kuat melekat pada umumnya warga NU saat itu. Hal itu terus berlangsung hingga terjadi polarisasi pendapat yang cukup hangat tentang perlu tidaknya wanita berkecimpung dalam organisasi.

Dalam kongres itu, untuk pertama kalinya tampil seorang muslimat NU di atas podium, berbicara tentang perlunya wanita NU mendapatkan hak yang sama dengan kaum lelaki dalam menerima didikan agama melalui organisasi NU. Verslag kongres NU XIII mencatat : “Pada hari Rebo ddo : 15 Juni ’38 sekira poekoel 3 habis dhohor telah dilangsoengkan openbare vergadering (dari kongres) bagi kaoem iboe, …

Tentang tempat kaoem iboe dan kaoem bapak jang memegang pimpinan dan wakil-wakil pemerintah adalah terpisah satoe dengan lainnja dengan batas kain poetih.”

Sejak kongres NU di Menes, wanita telah secara resmi diterima menjadi anggota NU meskipun sifat keanggotannya hanya sebagai pendengar dan pengikut saja, tanpa diperbolehkan menduduki kursi kepengurusan. Hal seperti itu terus berlangsung hingga Kongres NU XV di Surabaya tahun 1940.

Dalam kongres tersebut terjadi pembahasan yang cukup sengit tentang usulan Muslimat yang hendak menjadi bagian tersendiri, mempunyai kepengurusan tersendiri dalam tubuh NU. Dahlan termasuk pihak-pihak yang secara gigih memperjuangkan agar usulan tersebut bisa diterima peserta kongres. Begitu tajamnya pro-kontra menyangkut penerimaan usulan tersebut, sehingga kongres sepakat menyerahkan perkara itu kepada PB Syuriah untuk diputuskan.

Sehari sebelum kongres ditutup, kata sepakat menyangkut penerimaan Muslimat belum lagi didapat. Dahlanlah yang berupaya keras membuat semacam pernyataan penerimaan Muslimat untuk ditandatangani Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. A. Wahab Hasbullah. Dengan adanya secarik kertas sebagai tanda persetujuan kedua tokoh besar NU itu, proses penerimaan dapat berjalan dengan lancar.

Bersama A. Aziz Dijar, Dahlan pulalah yang terlibat secara penuh dalam penyusunan peraturan khusus yang menjadi cikal bakal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU di kemudian hari.

Bersamaan dengan hari penutupan kongres NU XVI, organisasi Muslimat NU secara resmi dibentuk, tepatnya tanggal 29 Maret 1946 / 26 Rabiul Akhir 1365. Sebagai ketuanya dipilih Chadidjah Dahlan asal Pasuruan, isteri Dahlan. Ia merupakan salah seorang wanita di lingkungan NU itu selama dua tahun. Pada Oktober 1948, Chadidjah Dahlan berpulang ke Rahmatullah mendahului suami tercinta dan meninggalkan Muslimat, tempat ia memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya di lingkungan NU.

Dijodohkan dengan Aisyah

Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), suatu organisasi pemuda dalam lapangan politik di bawah Masyumi, mengadakan kongresnya yang ke empat pada tanggal 20-22 Maret 1950 di Semarang. Salah seorang pesertanya bernama Aisyah, gadis Padang Pariaman yang kala itu menjabat sebagai ketua GPII-Putri Sumatera Barat. Usai mengikuti kongres, Aisyah bersama beberapa temannya menyempatkan singgah di Jakarta, karena mendengar kabar bahwa Kementerian Agama sedang membutuhkan pegawai baru. Melalui H. Aboebakar (staf Kementerian Agama) didapat informasi bahwa Menteri Agama KH. A. Wahid Hasyim memerlukan penambahan staf yang akan ditempatkan di bagian kesekretariatan.

Bagi Aisyah, bekerja di Kementerian Agama sangatlah menarik hatinya. Di samping banyak teman-temannya yang telah lebih dahulu bekerja di sana, ia pun berharap dengan tinggal di kota besar, akan menambah pengalamannya berkecimpung di organisasi, mengabdi bagi kepentingan masyarakat luas.

Sejak menjadi staf sekretariat KH. A. Wahid Hasyim, tidak jarang Aisyah mengikuti rapat-rapat yang diadakan PBNU di Jakarta. Minat dan kecintaannya berorganisasi seakan mendapatkan wadah penyaluran dan kian meningkat, manakala KH. A. Wahab Hasbullah menawarkan kepadanya agar bersedia terlibat aktif di Muslimat NU. Adalah KH. A. Wahab Hasbullah pula yang setelah mengamati kepribadian Aisyah dan menilai kepantasannya, memberanikan diri menjodohkannya dengan Dahlan.

Di mata Aisyah, kejujuran yang muncul dari kepribadian Dahlan telah membersitkan kekaguman tersendiri pada dirinya. Penampilannya yang meski sederhana, senantiasa necis dengan dengan setelan pentalon yang dikenakannya serta pecinya yang selalu miring ke kiri. Raut wajahnya yang memancarkan kecerahan, menambah sosok kehadiran fisiknya seakan jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya. Maka berkat “kegigihan” KH. A. WAhab Hasbullah dalam mempertemukan kedua hati milik Aisyah dan Dahlan, bersandinglah keduanya di pelaminan pada awal tahun 1951.

Terpilih Ketua Umum

Kiprah Dahlan di pentas nasional diawali tahun 1941 dengan menjadi anggota Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang berkedudukan di Surabaya. Pada tahun 1945 ketika Masyumi didirikan, ia menjadi anggota Dewan Pimpinan Partai hingga tahun 1952, saat NU memisahkan diri dari Partai Masyumi. Dahlan juga sempat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta pada tahun 1946.

Pada kongres NU XX di Surabaya tahun 1954, ia terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidziah Nahdlatul Ulama. Melalui partai yang dipimpinnya, ia juga duduk sebagai anggota konstituante hingga tahun 1959. Setahun kemudian, Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong dibentuk dan Dahlan diangkat menjadi anggotanya. Namun pengangkatan itu ditolaknya dengan alasan pembentukan lembaga tersebut tidak memberi kesempatan kepada golongan oposisi.

Melalui Keputusan presiden nomor 171/1967 yang dikeluarkan pada 11 Oktober 1967, Dahlan diberi kepercayaan untuk memangku jabatan Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan I hingga tahin 1971. Selepas menjadi menteri, ia duduk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung sampai wafatnya.

Ketika mulai menjabat sebagai Menteri Agama, kerukunan antar umat beragama tidak begitu baik keadaannya. Pembubaran PKI oleh pemerintah dinyatakan sebagai partai terlarang, serta penangkapan terhadap para pengikutnya, sedikit banyaknya telah menyebabkan banyak orang kian rajin mengunjungi rumah-rumah peribadatan, semata-mata agar tidak dituduh sebagai anggota PKI. Keadaan seperti itu mendorong masing-masing penganut agama (golongan Islam dan Kristen ) semakin gencar melakukan kegiatan-kegiatan penyebaran agama.

Hubungan antar pemeluk agama itu berubah menjadi ketegangan, manakala golongan yang satu secara atraktif menyebarkan agamanya kepada golongan yang lain. Ketegangan itu tidak jarang berlanjut menjadi insiden bentrokan fisik. Di Ujungpandang, sebuah gereja dirusak oleh orang-orang Islam akibat adanya seorang pemuka Kristen di kota tersebut yang menghina Nabi Muhammad.

Di Aceh, sebuah gereja yang baru dibangun tidak diizinkan dibuka oleh pemerintah setempat, sebab masyarakat Aceh tidak memperkenankannya. Kasus di Aceh ini sempat diangkat Fraksi Kristen Protestan dan Katholik dalam forum DPR-GR, sehingga melahirkan apa yang dikenal dengan “Interpelasi Simorangkir” pada tanggal 7 Juni 1967. Interpelasi tersebut dijawab pemerintah (kala itu disampaikan oleh KH. Saifuddin Zuhri selaku Menteri Agama) dan dapat diterima. Di Jakarta, Bukittinggi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Manado, Flores, terjadi usaha-usaha merubuhkan gereja oleh masyarakat setempat.

Dalam suasana seperti itu, Dahlan selaku Menteri Agama mengambil prakarsa mengadakan Musyawarah Antar Agama pada tanggal 30 November 1967, bertujuan mencari jalan keluar agar peristiwa-peristiwa intoleransi antar agama itu tidak terulang lagi, sehingga kerukunan antarumat beragama dapat dibina dengan baik. Musyawarah itu antara lain dihadiri oleh DR. T. B. Simatupang, Ben Mang Reng Say, Mr. A. M. Tambunan mewakili golongan Kristen dan KH. Masykur, M. Natsir, DR. H.M. Rasyidi mewakili golongan Islam.

Menteri Agama KH. M. Dahlan yang memimpn jalannya pertemuan mengajukan pokok-pokok pikiran rencana persetujuan, yang intinya adalah agar propaganda agama tidak dilakukan dengan tujuan meningkatkan jumlah pemeluk masing-masing agama, namun dilaksanakan untuk memperdalam pemahaman dan pengamalan tentang agamanya masing-masing. Penyebaran agama hendaknya tidak dilakukan pada suatu komunitas yang sudah jelas mayoritasnya telah menganut agama tertentu, tetapi dilakukan di daerah-daerah yang penduduknya belum memeluk suatu agama.

Atas rencana persetujuan tersebut, baik golongan Islam maupun golongan Hindu Bali dapat menerimanya. Namun dengan alasan bahwa Jesus Kristus telah memerintahkan agar menyebarluaskan ajaran Kristen ke seluruh penjuru dunia, golongan Kristen menolak rangcangan persetujuan tersebut, tetap saja pihak Kristen tidak dapat menyetujuinya.

Perdebatan Soal Hukum

Dalam bidang keilmuan, Dahlan terlihat menonjol pada disiplin ilmu fiqih ini ditunjang dengan koleksi kitab-kitab yang dimilikinya, yang sebagian besar adalah kitab-kitab fiqih. Hal itu menyebabkan Dahlan sangat moderat dalam memandang perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan imam-imam madzhab. Ia nampak tidak kaku dengan pendapat madzhab tertentu dalam menentukan suatu hukum, sejauh pendapat itu dinilainya cukup argumentatif.

Pada tahun 1969, Menteri Agama KHM Dahlan mendapat undangan pertemuan ilmiah Umat Islam di Kuala Lumpur-Malaysia, membahas tentang Ru’yah (untuk menentukan kapan awal bulan puasa, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha) dan minuman yang diharamkan. Dahlan lalu meminta stafnya, Prof. KH. Ibrahim Hosen (kala itu sebagai Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Hubungan Luar Negeri Departemen Agama RI). Dalam makalah itu dinyatakan bahwa hukum meminum bir adalah khilafiyah, yakni terjadi perbedaan pendapat di kalangan imam mazhab dalam menetapkan hukum haram-halalnya. Dijelaskan dalam tersebut, kesimpulan yang biasa diambil dari pendapat imam-imam mazhab tentang minuman yang diharamkan itu adalah bahwa khamar, yaitu dibuat dari perasan anggur yang mempunyai sifat keras dan merangsang, hukum meminumnya adalah haram, terlepas memabukkan atau tidak, diminum banyak atau sedikit.

Adapun muskir (dikenal dengan istilah nabidz) adalah minuman keras yang terbuat dari selain perasan anggur, mempunyai sifat keras dan merangsang, hukum meminumnya adalah haram jika sampai kadar yang memabukkan. Seluruh ulama imam mazhab sepakat akan kedua hal itu. Perbedaan pendapat timbul saat menentukkan hukum meminum nabidz pada kadar yang tidak memabukkan (tidak sampai mabuk).

Terhadap masalah yang terakhir ini, Imam Malik berpendapat hukumnya dosa besar, peminumnya wajib dikenakan had (hukum cambuk), dan kesaksiannya ditolak. Menurut Imam Syafi’i dan sebagian kalangan Maliki berpendapat bahwa hukumnya dosa kecil. Peminumnya tidak dikenakan had dan kesaksiannya diterima. Adapun Imam Abu Hanifah menyatakan tidak berdosa. Sebagian ulama Hanafi berpendapat boleh meminum sedikit dan yang tidak memabukkan, manakala hal itu untuk tujuan menambah kekuatan dalam berjihad dan lain sebagainnya, bukan untuk foya – foya. Mengingat bir dibuat dari selain perasan anggur, dan boleh karenanya ia masuk kategori nabidz, maka hukum meminumnya pada kadar yang tidak memabukkan adalah khilafiyah.

Kiai Dahlan menerima sepenuhnya atas makalah tersebut dan siap mempertanggungjawabkan atas nama dirinya sebagai Menteri Agama. Menurutnya, ulasan yang dikemukakan dalam makalah tersebut didasari oleh pendapat para ulama dalam kitab – kitab fiqih.

Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Agama, Dahlan bersama Prof. KH. Ibrahim Hosen adalah pemrakarsa pertama penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Tingkat Nasional yang untuk pertama kalinya diadakan di Ujungpandang. Keduanya pula yang bersama – sama KH. Zaini Miftah, KH. Ali Masyhar dan Prof DR. H.A. Mukti Ali pada 23 Januari 1970 membentuk Yayasan Ihya Ulumuddin, yang setahun kemudian merintis berdirinya Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ), sebuah perguruan tinggi yang secara khusus mengajarkan seni baca dan menghafal Al-Qur’an serta mengkaji ilmu-ilmu yang ada di dalamnya.

Mengobati sakit gigi

Seorang pemuda berusia 30 an tahun sedang duduk tekun menelaah sejumlah kitab berbahasa Arab selepas shalat taraweh pada bulan Ramadhan di tahun 1939 . Hujan deras sejak maghrib tadi menyisakan udara yang cukup dingin, yang dihembuskan semilir angin pada tengah malam sekitar pukul 22.00.

Tiba – tiba terdengar suara salam dibarengi dengan ketukan pintu tanda adanya seorang tamu. Usai membalas salam, pemuda itu mempersilahkan tamunya masuk ke dalam rumah. Sambil mengingat-ingat siapa tamu yang baru pertama kali dijumpainya, pemuda itu mengamati sosok perawakan sang tamu. Setelah memperkenalkan diri, tahulah tuan rumah kini bahwa tamunya adalah kakak kandung sahabatnya ketika ia mengenyam pendidikan di Pesantren Siwalan Panji – Sidoarjo. Sang tamu menceritakan maksud kedatangannya bahwa sejak tiga hari yang lalu ia menderita sakit gigi, dan semenjak lepas maghrib tadi rasanya kian menjadi-jadi. Atas saran adiknya, ia bermaksud meminta kesediaan tuan rumah yang menyembuhkan sakit giginya itu.
Dengan senang hati sahibul bait menyatakan kesediaannya memenuhi permohonan tamunya. Ia lalu masuk ke dalam kamarnya dan tak lama kemudian ke luar sambil membawa sebuah paku disertai alat pemukulnya. Dari kamarnya, ia berjalan menuju dapur, mengambil segelas air putih dari kendi yang tersedia di sana. Berjalan menghampiri sang tamu yang duduk di ruang depan. Tuan rumah itu menerangkan bahwa ia akan mencoba menghilangkan rasa sakit gigi yang diderita tamunya. Ditegaskan pada hakekatnya Allah Sang Penciptalah yang bisa menyembuhkan suatu penyakit, sedang ia hanya sebagai perantara yang berikhtiar dan memohon keridlaan-NYA meringankan derita yang sakit.

Setelah menghempaskan tubuhnya ke kursi yang berada di hadapan tamunya, pemuda Dachlan melafalkan beberapa kalimat doa yang telah dihafalkannya di luar kepala. Usai berdoa, ia lalu mempersilahkan tamunya meminum habis segelas air putih yang tadi dibawanya. Lalu ia mengambil paku ……..dan mengusapkan berulang-ulang batang paku tersebut ke kedua pipi bagian bawah tamunya. Setelah dirasakan cukup, pemuda itu menuju salah satu tiang kayu yang ada di rumahnya, lalu memakukannya hingga tertancap di sana.

Keesokan harinya, sang tamu kembali berkunjung ke rumah pemuda tersebut dan seraya tak henti – hentinya mengucapkan terima kasih atas pertolongan tuan rumah, ia mengabarkan bahwa sejak kejadian semalam, sakit giginya tidak dirasakan lagi. Ini menjadi kekhasan seorang kiai disamping bisa memberikan fatwa hukum, penjelasan keilmuan juga dituntut mampu memberikan pengobatan dan kalau perlu memiliki kesaktian dalam menghadapi penjahat.

Tokoh NU KHM Dahlan yang berasal dari Pasuruan Jawa Timur itu memiliki sikap ketelitian dan kecermatan dalam banyak hal. Di kalangan NU, sedikitnya ada tiga tokoh besar yang bernama Dahlan, yang telah berjasa menyumbangkan tenaga dan pikirannya dalam membangun dan mengembangkan organisasi NU khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.

Dahlan yang pertama adalah KH. Ahmad Dahlan yang berasal dari Kebon Dalem, Surabaya. Dialah tokoh yang menjadi Wakil Rois Akbar PBNU yang pertama mendampingi Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Dahlan yang kedua adalah KH. Dahlan bin Abdul Qahar yang berasal dari Kertosono. Tokoh ini di samping memiliki kedalaman ilmu keagamaan, juga menguasai pengetahuan umum yang luas dan fasih berbahasa Belanda. Pada sekitar awal abad ke 20, di antara seluruh tokoh NU pada masa itu, hanya KH. Dahlan Kertosono dan KH. Muhammad Ilyas lah yang sempat bersekolah di HIS dan menamatkannya. Adapun Dahlan yang ketiga ialah KH. Muhammad Dahlan yang sebagian riwayat hidupnya sedang anda baca sekarang ini.

Kebiasaan Kiai Dahlan yang tidak pernah ditinggalkannya semenjak menetap di Pasuruan hingga pindah ke Jakarta adalah membaca Kitab Dalail Khairat selepas shalat Subuh hingga menjelang Shalat dhuha atau sesudah Sholat maghrib sampai Shalat Isya, kecuali ada tamu atau acara lainnya.

Pada tanggal 1 Februari 1977, selesai membaca kitab yang selalu dijalaninya itu, KH. Muhammad Dahlan berpulang ke rahmatullah untuk selamanya. Almaghfurullah meninggalkan H. Aisyah Dahlan, isteri tercintanya dan Dr. Aida Sofiati, Hafidz Dahlan SE, Ir. Diah Fauziah, Ir. Hamdan Purnama MBA, keempatnya adalah putera puteri yang dikasihinya. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, wujud dari pengakuan pemerintah atas jasa – jasanya dalam turut serta membangun bangsa Indonesia.
loading...

Tony

About Tony

Author Description here.. Nulla sagittis convallis. Curabitur consequat. Quisque metus enim, venenatis fermentum, mollis in, porta et, nibh. Duis vulputate elit in elit. Mauris dictum libero id justo.

Subscribe to this Blog via Email :